Es Batu
Hari itu akan datang. Hari kita sudah tidak memiliki persamaan apa pun.
Waktu kita sudah begitu berbeda. Apalagi ruang; hampir tak mungkin dibagi. Pada
awalnya, kita akan sama-sama mempertanyakan pantas atau tidak pantas. Kemudian,
lantas?
Kita pun akan mengisi seluruh waktu dan ruang dengan segala sesuatu yang
disebut dengan pengganti. Apa pun. Semata untuk melanjutkan hidup tanpa
beririsan. Hidupku. Hidupmu. Hidupnya. Hidup mereka.
Kita akan sama-sama membentuk koloni-koloni kecil yang baru. Bertahan hidup
dengan mereka tanpa punya banyak pengalaman yang sama, mungkin hanya satu
kesamaan. Berbaur melebur hingga menjadi diri kita yang baru. Semakin menjauh
dari koloni lama dan menjadikan kita semakin berbeda.
Lalu, suatu saat itu juga akan tiba. Pancaindera memanggil kenangan tentang
kita tanpa mempertimbangkan cuaca, juga tanpa menenggang rasa orang-orang di
sebelah kita. Mengenang waktu dan ruang yang pernah kita bagi. Dan, kita pun
tetap tidak melakukan apa pun. Ingatan itu hanya dinikmati sendiri-sendiri
karena waktu dan ruang kita sudah begitu berbeda. Kita tidak memiliki persamaan
lagi.
Waktu itu memang akan tiba. Kita akan berpapasan kembali dan hadir sebagai
orang asing. Ada jarak dalam satu ruang yang tak bisa kita tembus, ada penyangga
dalam percakapan yang terlampau jauh. Kita akan bertingkah seperti orang tidak
pernah saling mengenal atau setidaknya hanya pernah kenal.
Kita sama-sama sibuk buat pertanyaan yang kita kira bisa memecah es batu di
dalam waktu yang begitu sempit. Ternyata, itu terlalu beku. Bongkahan es itu
terlalu besar untuk dipecahkan. Apalagi, kita tak pakai baju hangat sama
sekali. Kita disibukkan untuk mencari alasan keluar dari ruangan karena tidak
tahan dengan dingin yang mendera.
Kala itu akan hadir. Waktu dan ruang kembali menjadi persamaan kita, tapi
kita sudah begitu berbeda. Kita kemudian membentuk koloni-koloni baru kembali. Dan,
kita tak perlu sibuk mematikan ingatan. Itu akan terjadi.
Komentar
Posting Komentar