Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Bagai geluk tinggal di air.

Bagai geluk tinggal di air. Setiap hari, kerjanya hanya menunggu. Menunggu bantuan orang lain. Tepatnya, menunggu diselamatkan orang lain. Tanpa teriakan. Tanpa aduhan. Tanpa aba-aba minta pertolongan. Kami curiga, ia bahkan tidak sadar bahwa ia terus-menerus menunggu. Katanya, kalau ditanya ulang, "Saya tidak butuh pertolongan, apalagi kasihan." Mukanya datar. Suaranya juga. Seakan itu bukan hal besar. Sedatar memberi tahu tadi pagi dia minum air putih, kegiatan yang selalu dilakukannya. Kami tidak melihat tanda-tanda ia melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaannya. Marah pun tidak, apalagi dendam. Kami pernah tanya lagi, apa harapannya. Sebenarnya, kami tanya ini hanya ingin tahu saja apa yang ia inginkan. Ia hanya tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya. "Tidak tahu. Kalau saya jawab tidak ada, pasti saya diberondong pertanyaan lain. Sudahlah, pertanyaan itu sudah saya tanyakan berulang kali juga, tapi tidak nemu jawabannya," ia menuangkan air putih...

Masih tentang Bundaran HI

“Setiap usaha layak diapresiasi.” Saya pernah bilang demikian dan saya perlu setia dengan omongan sendiri. Maka itu, kali ini, saya ingin mengapresiasi usaha pemerintah—melalui tangan Dinas Pertamanan dan Permakaman DKI—yang dengan cerdasnya menaruh tanaman-tanaman pemanis di seputaran Bundaran HI bagian dalam. Cerdas! Ini adalah usaha kesekian mereka, mulai dari membuat kolam sehingga menjadi licin, menaruh tulisan “awas, bertegangan tinggi”, melarang motor-motor untuk lewat, dan sekarang tibalah saatnya menaruh tanaman-tanaman itu. Saya baru melihatnya malam ini, padahal ternyata ini sudah dimulai sejak Maret 2016—telat 2 bulan. Alasannya mempercantik, begitu kata poskota dan beritajakarta , demi Corporate Social Responsibility (CSR). Sebenarnya, saya masih belum menemukan ini bentuk tanggung jawabnya apa dan bagaimana. Apakah mempercantik sekarang jauh lebih humanis daripada memanusiakan? Apakah mereka sadar berapa banyak orang yang direnggut haknya untuk menikmati Bundaran ...

nyala

Kepada siapa atau apa Percaya harusnya dipapah Kejujuran apa begitu susah Untuk resah tetap merekah Adakah pengakuan pengkhianat? Patutkah dan layakkah dijerat ? Seolah terpisah sebab-akibat Menunggu sayu sampai berkarat Diam ini bukan hanya geram Juga upaya menyapih dendam Luka tidak menghentikan tumbuh Malah bergerak laju menubuh