Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

Dikejar Tentara

Gambar
"Berikan satu pelukan supaya saya bisa pulang." "Kamu tidak punya jalan pulang. Jalanmu sudah dihadang tentara." Berdiri dia, mengambil jaket abu-abu tuanya yang digantung di gagang pintu depan. Setelah mengenakannya, ia duduk di kursi teras, menarik sepatu di bawah kursi itu. Memakai kaus kaki dan memasukkan kakinya dalam sepatu. Pertama yang kanan, kemudian yang kiri. Sambil mengikat tali sepatu kanannya, "Harus segera beranjak dari sini sebelum kau terseret-seret." Saya menyandarkan bahu di daun pintu, "Jadinya ke mana?" Ia beralih ke tali sepatu kiri, "Bukannya sebaiknya hanya saya yang tahu? Kalau mereka tanya, kamu betul-betul tidak tahu; tidak perlu berpura-pura." Saya masih saja diam di daun pintu, "Dari mana saya akan tahu kamu baik-baik saja?" Ia melirik saya sebentar, "Kemungkinan besar tidak ada yang lebih baik dari hari ini," kemudian melihat sepatunya lagi. Ia berdiri sambil mengambil tasnya ya...

Berakhir Sudah Kesepianmu, Bapak Tua Sapardi Djoko Damono

Gambar
"Sapardi meninggal," saya mengguncang-guncang kekasih saya yang masih mengorok. Ini kebiasaan saya setiap pagi menjelang siang. Beritanya bisa apa saja, mulai dari berita kali sudah berak pagi itu sampai kebingungan mau pesan makan apa siang itu.  "Kamu sedih?" dengan suara parau. "Nggak, kesepiannya sudah berakhir, dia sudah menyiapkannya," jawaban asal. Jika seseorang begitu sering membayangkan sesuatu, apakah ia memang mempersiapkannya? Ah, mungkin tidak juga. Mungkin juga terlalu gegabah untuk menjawab pertanyaan itu dengan mengatasnamakan orang lain. Apalagi untuk Si Bapak Tua yang satu ini. Terlepas dari kematian merupakan obsesinya atau bukan, ia sudah membayangkan kematian sejak lama. Di dunianya. Puisi adalah dunianya. Begitu lah ia ingin dikenang, katanya dalam wawancara yang pernah saya baca entah di mana. Ini contoh tidak baik untuk argumen kuat; sumber tidak jelas. Di dalam dunianya itu, ia begitu akrab dengan kematian. Ia p...