mutualisme
Hari ini seorang teman setengah memaksa minta bertemu pada larut malam. Saya duduk di meja itu sambil memesan kopi. Padahal, sebelumnya, saya sudah berjanji tidak akan meminum kopi lagi karena sudah dua gelas. Namun, jam-jam ini pun harus dilalui bersama kopi. Dengan mata lelah dan badan yang hampir tak bertenaga, saya tunggu dia yang katanya sudah dekat. Sesampainya, temanku itu langsung memesan satu botol bir ukuran kecil. Matanya sembab, tapi justru menunjukkan wataknya yang begitu keras. Keras itu selalu kuartikan sebagai berani, bukan sebagai pemberontak tanpa toleran yang sering kali diinterpretasikan orang. Keras itu kuanggap sebagai kekuatan. Aku sudah memutuskan sejak awal ajakan. Aku hanya bersedia sebagai pendengar. Rasanya, otakku sudah tak sanggup untuk menelaah ceritanya lebih lanjut, apa pun itu. Jadi, kudengarkan saja ia berceloteh. Setelah kurangkum, ternyata dia merasa diperdaya oleh kekasihnya. Dia bilang, tidak terjadi simbiosis mutualisme dalam hubungan mereka. Sal...