Gegara Sasha Grey, Dua Orang Dikeluarkan dari Kedai Kopi
“18 tahun?”
“Iya, dia mulai kariernya
waktu dia 18 tahun. Lihat, seperti apa dia sekarang.”
“Seperti apa?”
“Dia sudah digarap oleh Steven
Soderbergh.”
“Erin Brockovich dan Ocean's
Eleven?”
“Ya! Steven yang itu.”
“Dan, digarap yang kamu
maksud adalah?”
“Bukan seperti yang kamu
asumsikan. Dia jadi pemeran utama dalam The
Girlfriend Experience.”
Suaranya tak dikecilkan
sama sekali. Padahal, kami sedang berada di kedai kopi dengan ruang yang
memungkinkan nyaris terdengar pengunjung lain, pun berbincang berbisik. Malam
itu, kebanyakan orang cenderung berbicara; pura-pura tak mendengarkan
pembicaraan di meja sebelahnya. Padahal, kami sama-sama tahu bahwa kami saling curi-curi
dengar di tengah jeda percakapan di meja masing-masing.
Mungkin, aku lebih takut
dikeluarkan secara paksa dari kedai kopi itu ketika salah satu pengunjung
ternyata antipornografi dan tahu betul siapa yang sedang kami perdebatkan. Irosnisnya
demikian, menentang keras, tapi tahu siapa-siapa saja tokoh yang terkenal. Kami
memang sedang memperbincangkan Sasha Grey. Tapi, kalau dipikirkan lagi, terbersit
keinginan supaya itu memang terjadi. Judul berita keesokannya akan sangat
menarik, “Gegara Sasha Grey, Dua Orang Dikeluarkan dari Kedai Kopi” atau bisa
juga, “Di Kedai Kopi: Paksa Keluar karena Sasha Grey”. Kalau itu berita online, bayangkan seberapa banyak orang
akan mengklik berita itu pada jam makan siang setidaknya. Dengan mata
berbinar-binar, ditambah senyam-senyum khas, mereka mengklik tautan judul itu.
Sudahlah, aku mulai melantur.
Kembali ke lelaki setinggi
173 cm di hadapanku malam itu. Ia akan melakukan apa pun untuk membantah
tudingan perempuan yang lebih muda tujuh tahun akan kemesumannya. Bantahannya
diatur seakan cerdas luar biasa. Latar belakang dan kiprah Sasha Grey digarap
habis. Teori feminis dari gelombang pertama sampai gelombang ketiga disikat
habis. McKinnon-lah dibawa-bawa, belum nama-nama yang bahkan tak pernah aku
dengar. Semua nama seakan dijual habis malam itu untuk membantah tudinganku
yang padahal tak jauh dari bercanda.
“Dia bukan sembarang bintang porno. Dia punya
prinsip. Seberapa banyak orang punya prinsip belakangan?”
“Banyak. Mungkin, Mas cuma
ketemu sama orang yang itu lagi-itu lagi. Cobalah ketemu sama temen aku yang
penari itu. Dia pintar bukan main, padahal Mas juga tahu dia seperti apa.”
“Temen kamu juga
kebanyakan ngawur.”
Seakan tidak mendengar
jawabanku, dia melanjutkan celotehannya lagi.
“Sasha bahkan punya rumah
produksi sendiri. Tujuannya pun luar biasa: merekonstruksi pornografi dan juga
memberdayakan perempuan.” Badannya agak condong ke depan, seakan ingin memberi
penanda penegasan kepadaku.
“Oh ya? Mungkin, temen aku
yang ngawur bisa ikut masuk rumah produksinya.”
“Kegilaan apa lagi yang
dia lakukan?”
Saya tidak berniat
membicarakan teman saya malam itu.
“Apakah pertanyaan itu
membuktikan asumsiku?”
“Asumsimu yang mana? Kamu
suka berasumsi, padahal terlalu banyak kemungkinan lain.”
“Iya, itu pun belajar dari
Mas.” Aku mesem-mesem. Yang ada di hadapanku mengambil rokoknya sambil
senyum-senyum menunduk.
“Sialan. Asumsi apa?”
“Asumsi bahwa Mas begitu
tertarik dengan sesuatu yang gila.”
“Bukan gila, tapi cerdas,
bernas.”
“Cerdas yang mana? Cerdas
yang ditandai dengan pembicaraan yang dipenuhi dengan kutipan orang-orang?
Kemudian, itu bisa memaklumi banyak hal lain yang tidak masuk akal?”
“Apa yang dilakukan Sasha
itu masuk akal. Dia begitu berani atas nama kejujuran. Bukankah itu yang selalu
kamu gembor-gemborkan? Kemudian, sekarang, kamu malah tidak menganggap hebat
seorang perempuan yang begitu jujur; justru menudingnya dengan macam-macam.
Kamu bias,” ia mengucapkannya sambil senyum-senyum. Itu adalah cara andalannya
untuk tidak terlihat menyerangku. Aku tahu, itu serangan menukik. Dalam empat
detik, aku berharap bisa membatalkan bercandaanku di awal untuk mengolok-olok
Sasha Grey. Aku tidak menyangka dia terlalu ambisius dengan perempuan yang
bahkan tidak ia kenal langsung ini.
“Mungkin, tapi ini baru
mungkin, ya, Mas. Cerdas dan bernas yang Mas bicarakan dari tadi menjadi begitu
menarik karena dibungkus dengan kemudaan. Muda itu menggairahkan. Ini kita ndak bicara tentang birahi, lho. Ya, mungkin itu ada sepersekian persennya.”
Laki-laki tadi mulai
mengeluarkan rokoknya dari bungkus yang didiamkan dari tadi di atas meja.
Mengetuk-ngetukkan rokoknya sambil sesekali melihatku seolah tidak mau
menunjukkan bahwa ia begitu memperhatikan. Aku latah mengeluarkan rokok juga dari
bungkusnya. Ia menyalakan api dari korek yang sudah ada di tangannya dan menyodorkannya
kepadaku. Aku memajukan badanku untuk menyalakan rokok itu. Ia tetap
memandangku. Menanti betul ia rupanya lanjutan ocehanku. Setelah mengeluarkan
asap dari mulutku, aku meneruskan omonganku.
“Mas jadi ingat diri
sendiri beberapa tahun lalu. Berapa tahun Mas bedanya sama Si Sasha ini?”
“Hmm…,” bola matanya ke
atas, dahinya berkerut. “10 tahun.”
“Nah, Mas ingat diri
sendiri 10 tahun lalu. Pikiran-pikiran liar. Tubuh masih mantap, setidaknya Mas
merasa lebih mantap daripada sekarang. Percaya diri. Tidak ada rasa takut. Dan…
binal,” aku tertawa setelah mengucapkan itu, mengikuti caranya supaya tidak
terlihat menyerang.
Si tinggi di depanku ini
mulai menyenderkan badannya ke punggung kursi. Tangannya terlipat di depan
dada. Rokok yang sudah sempat dibakar dan dihisapnya sudah terletak di asbak,
dianggurkan begitu saja.
“Mungkin sekarang Mas tidak
bisa sebegitunya lagi karena desakan kebutuhan dan tentu saja tanggung jawab,”
matanya tidak aku lihat. Aku pura-pura membuang abu rokok ke asbak, padahal belum
ada abu untuk dibuang. Mendengar tidak ada respons yang cukup signifikan dari
kawan bicara, aku melanjutkan pembicaraan.
“Tenang saja. Bagi dia, Mas
pasti juga begitu memperdaya. Seseorang dengan usia terpaut jauh mengagumi apa
yang dia lakukan. Dia akan merasa begitu dihargai. Penghargaan terasa lebih
jika didapat dari orang yang dianggap sudah ajek. Padahal, siapa yang tahu
sudah ajek atau belum? Usia, kan, tidak membuktikan keajekan.” Dia mengambil
rokoknya di asbak tanpa meninggalkan punggung kursi. Resahnya tercium benar.
Aku harus membuat keadaan menjadi lebih cair lagi.
“Kalau aku masih seusia
Sasha Grey, aku juga pasti bersedia-bersedia saja untuk bermalam denganmu. Apa,
toh, susahnya mendengarkan omal-omel
tentang pekerjaan Mas yang sebenarnya bisa dibilang membosankan itu? Tinggal
puja-puji sedikit, Mas pun pasti juga merasa terlengkapi. Kita semua bukannya
haus akan pengakuan, ya?”
Malam sudah semakin larut.
Sunyinya kedai kopi itu membuat suara gerimis yang jatuh di atap seng terdengar
semakin jelas.
“Sudah, ah. Ini tidak akan
habis. Pulang?”
“Yuk.”
Komentar
Posting Komentar