Samar Konteks
“You know, sometimes all you need is
twenty seconds of INSANE COURAGE. Just literally twenty seconds of just
embarassing bravery. And I promise you, something great will come of it” –
Benjamin Mee (We Bought a Zoo)
Semalam
saya menonton itu dan kecengengan yang sudah diduga tentu saja terjadi. Tapi,
intinya bukan itu. Konon, langkah pertama untuk banyak hal adalah pengakuan.
Berhubung saya sedang haus akan banyak hal, saya memilih untuk mengaku saja.
Saya memanfaatkan kesempatan atas keputusan yang saya ambil dalam waktu kurang
dari dua-puluh-detik sebelum tulisan ini dimulai. Semoga saya tidak kehilangan
keberanian di tengah jalan. Percayalah, ini juga ditulis dalam keadaan hati
berdegup-degup. Sialan.
Bersama
tulisan ini, saya mengaku bahwa saya sedang rindu mati-matian dengan teman
dekat saya (dan masih belum terlalu gila untuk menyebutkan namanya). One of a kind. Saya hampir tidak pernah
takut untuk kehilangan dia. Setiap hilang, dia selalu hadir kembali dengan
tiba-tiba dan cara tak terduga. Kehadirannya tidak pernah seperti kebanyakan
orang yang menyapa dengan biasa-biasa saja, seperti menanyakan kabar atau
basa-basi lain yang kunjung kehilangan makna. Misalnya, setelah hilang
berbulan-bulan, dia bisa hadir dengan pertanyaan, “apa bedanya bahagia dan senang?”
atau bisa juga hadir dengan pertanyaan, “apa lagi yang Jakarta bisa tawarkan?”.
Tak
sedikit juga kesempatan ia hadir dengan omelannya tentang perilaku orang-orang yang
dirasa ada di luar akalnya, “Ini orang-orang emang malas mikir, ya?”. Bukan itu
saja. Waktu itu, ia juga pernah hadir mendadak dengan judul buku, “Nagabumi?” atau “Pentas Kota Raya?”. Suatu malam, dia bahkan pernah mengirimkan
rangkaian jurus dari buku yang sama-sama kami baca. Saya balas jurus lain,
masih dari buku yang sama. Kami pun mulai mengarang jurus-jurus lain. Kemudian,
kami tertawa masing-masing.
Saya
juga ingat betul pada suatu sore, dia mengajak bertemu. Dia jemput saya tanpa
saya tahu akan diajak ke mana. Dia menyebutkan satu tempat makan es krim klasik: Ragusa. Saya
menyangka dia sudah tahu tempatnya, ternyata tidak ada satu pun di antara kami
yang tahu. Kami pun terbahak sepanjang jalan, mencoba mencari-cari jalan yang
entah di mana. Telepon Ragusa, numpang tanya orang-orang di pinggir jalan. Kami coba cara-cara untuk bisa ke sana dan akhirnya berhasil tiba dengan selamat. Sesampainya, orang-orang berdesakan. Yak, kami
tidak dapat tempat dan terpaksa mencari tempat lain. Malah, Ancol menjadi pilihan kami
selanjutnya.
Malam
abstrak lainnya dimulai dari pengiriman pesan ajakan bertemu. Tiba-tiba, setelah begitu lama tak ada pesan-pesan terkirim. Kami pun bertemu di sebuah kedai. Saya datang lebih dulu, saya menunggunya sambil membaca buku. Seperti
yang bisa diduga, sedatangnya, ia mencela-cela buku yang sedang saya baca. Saya
pun berargumen panjang-lebar. Dia menyelesaikannya dengan hantaman-hantaman
menukik sambil senyum-senyum. Malam itu dilanjut dengan cerita-ceritanya yang begitu menyedihkan, tapi kami sambut dengan tawa. Malam itu, dia bilang, "Katanya, kalau sudah bisa cerita dan sudah bisa menertawakan begini, tandanya sudah baik-baik saja." Saya terbahak mendengarnya karena kebekuannya masih begitu terihat dalam setiap pilihan katanya dan juga sorot matanya. Malam itu, dia tidak percaya dengan apa-apa lagi. Saya tahu betul. Saya juga masih ingat gerakan tangan dan ekspresi
wajahnya yang semakin memberikan efek dramatis terhadap ceritanya yang justru menjadikan semuanya begitu lucu.
Efek
dramatis lain adalah pertemuan-pertemuan tak terduga dengannya. Terlalu banyak
kebetulan di antara kami (yang hampir saya percaya sebagai kebenaran). Suatu ketika, saya melihatnya di suatu jalan—untuk kesekian kalinya. Pagi itu, saya memutuskan untuk meneleponnya untuk merespons kaca mata hitam yang ia pakai, “Silau banget, ya?” Dia
langsung tertawa mendapat telepon tanpa “halo” itu dan meresponsnya tanpa mempertanyakan maksud saya. Kami pun melanjutkan pembicaraan sampai tiba di tempat masing-masing. Dia tidak perlu penjelasan
konteks yang dinyatakan secara langsung. Rasanya, itu adalah penjelasan yang paling tepat. Saya dan Si Satiris
ini tidak membutuhkan konteks, kami paham konteks.
Dia
memang dikenal dengan satirenya. Banyak orang mengeluhkan itu kepada saya, pun
tidak banyak yang tahu akan kedekatan kami. Itu juga menjadi respons pertama
saya ketika baru kenal dia. Jauh dari menyenangkan. Pertanyaan-pertanyaannya seakan memojokkan. Omongannya terasa selalu menunjukkan ia lebih pandai. Tapi, setelah sanggup
bertahan sebentar dengannya, dia menawarkan sesuatu yang jauh berbeda. Orang seserius dia malah begitu ekspresif ketika bercerita. Dia kemudian tidak segan memberikan komentar-komentar segar tanpa harus terlihat selalu pintar, juga tindakan-tindakan yang sering di luar kebiasaan. Begitu manusia. Siapa lagi yang bisa menjulurkan lidah sambil kedua tangan dibuka lebar di samping telinganya dan ditujukan kepada orang-orang yang tidak dikenal dan dilakukan di lampu merah? Itu semakin lucu karena saya tahu dia orang yang juga bisa begitu serius, ia begitu serius menanggapi tata kota Jakarta, juga tentang kapasitas hidup, dan belum lama menyerah dengan hasrat.
Salah
satu cerita konyolnya adalah geng-geng dia. Dengan anggapan bahwa dia orang
yang begitu serius, kejadian-kejadian antara dia dan gengnya menjadi sangat
lucu. Dia menjadi tukang banyol yang tak berhenti melakukan kebodohan-kebodohan. Ada satu gerakan khusus yang selalu mereka lakukan ketika bertemu. Dan, setua ini, mereka masih melakukan itu di mana pun mereka bertemu. Begitu susah membayangkan ia berbicara serius ketika melihat langsung apa yang dia lakukan. Geng lainnya lebih lucu lagi. Mereka bertemu karena kegagalan cinta yang
kait-mengait. Namun, itu justru membuat mereka semakin dekat. Hanya dia di antara dua lainnya yang tidak terjun langsung dalam bidang arsitektur, tapi dia selalu ada dan sarannya dinantikan. Setidaknya, dia pernah menjelaskan tentang engsel pintu kepada saya dalam penjelasan yang njelimet dan begitu mendalam. Padahal, itu hanya engsel pintu. Cerita tentang geng kegagalan cinta ini salah satunya terjadi di sebuah proyek pada tengah hari terik. Mereka mengambil ember semen, mengisinya dengan es batu, dan meletakkan kaleng-kaleng bir di dalamnya. Lucunya, itu terjadi setelah ia harus putar balik karena mantannya sempat mampir di tempat itu.
Ini cerita lain lagi. Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, saya juga pernah tiba-tiba meneleponnya suatu sore, selepas jam pulang kantor. Berbicara banyak tentang tawaran beasiswa dan tawaran pekerjaan. Dia menanggapinya seolah tak pernah ada jeda dalam kabar-kabaran. Dia memberikan beberapa pertanyaan yang menuntun saya menuju keinginan saya yang sesungguhnya. Tentu saja, setelahnya, ia mencela-cela saya dengan pendapat-pendapatnya yang begitu sinis.
Oh
ya, ada lagi yang saya ingat. Dia pernah bertanya, “Waktu atau ruang?”
Kemudian, kami sibuk membahas antara waktu dan ruang selama berjam-jam sampai mengaitkannya dengan ilmu persilatan.
Sebenarnya, saya tahu betul, dia begitu tergila-gila dengan ruang, tapi kala
itu, ia sedang mempertaruhkan waktunya—kalau waktu memang bisa dipertaruhkan.
Dia sebegitunya dengan ruang, jatuh cinta pada bangunan-bangunan dan interior, termasuk ruang sebagai ruang.
Padahal, arsitek juga bukan, desainer interior juga bukan. Pendidikan filsafat dan sosial, budaya, dan teknologi justru menyadarkan dia akan ruang. Saya jadi ingat. Dia pernah
menelepon saya pada Sabtu siang dan mengoceh selama hampir lima menit tentang
kursi yang baru saja dia lihat. Ceritanya begitu antusias sampai tidak memberikan ruang untuk merespons. Dia seperti baru melihat perempuan idamannya dan menceritakannya kepada saya. Si Aneh!
Dia
memang menyebalkan. Kalau saya memulai pembicaraan dengan tentang suatu hal absurd cenderung serius
dan dia sedang tidak ingin membahasnya, dia akan bilang, “Serius banget obrolannya, Mbak. Nggak ngerti,” saya tahu dia bohong.
Saya tahu dia begitu paham akan teori-teori gembel yang dia pelajari semasa
kuliah. Dia bahkan nyaris tuntas membahas analisis kualitas hidup seseorang dan mengaitkannya dengan tawaran pandangan Amartya Sen. Tentang itu, saya juga tidak paham betul. "Ini bukan apa yang terpaksa dilakukan oleh manusia, tetapi apa yang masih dapat dilakukan oleh manusia," ceritanya berusaha menjelaskan.
Satu
momen yang paling berarti bagi saya adalah tanggapan dia pada saat terbawah
saya. Saya sedang di luar kota, ayah saya harus masuk ruang operasi, begitu pula dengan kakak saya. Setibanya saya di Jakarta, saya harus mengurus paspor untuk menemani kakak saya beroperasi yang bukan di Indonesia dan meninggalkan ayah saya yang harus beroperasi di Jakarta. Saya marah-marah soal percaloan dalam urusan paspor, saya menentang keras. Banyak orang tidak bisa menanggapi itu dengan baik. Setelah kena semprot, dia malah menjelaskan dengan pelan-pelan dan menunjukkan pandangan dari berbagai sisi; membuat saya terpaksa berkompromi demi sesuatu yang lebih penting. Dia tidak menunjukkan empati atau simpati berlebihan. Dia hanya
mengajukan beberapa pertanyaan untuk meyakinkan saya—dan mungkin juga dia—bahwa
saya tahu apa yang sedang saya lalui dan apa yang akan saya lakukan.
Sesudahnya, ia tidak menanyakan kabar saya setiap hari atau kabar ayah dan kakak saya. Ia hanya melempar cerita-cerita lucu hampir setiap hari, sering juga
teka-teki yang mengundang tawa. Saya tahu, dia hanya ingin membuat saya baik-baik saja.
Itulah.
Saya bisa tidak tidur hanya untuk menceritakan banyak kisah tentang dia.
Cerita-cerita tentang ibunya yang membuang buku harian mantannya, bapaknya yang
terkejut dijemput di bandara, mobilnya yang terbakar dan dia kira itu begitu keren karena seperti di film-film action, kisah ditilangnya, cerita
cintanya yang pernah menyerupai “Pink Triangle”, humornya tentang bapak mantan pacarnya yang ahli kungfu, drama putusnya di kereta setelah keliling kota
kuliahnya nun jauh pada hari ulang tahunnya, kisah kejadian-kejadian mabuknya,
usahanya menghilangkan penat, keisengan yang terlampau niat, kegagalan menyicil
rumah dan terpenting kesulitan mendesain dapurnya disertai omelan mahalnya perlengkapan dapur. Sudahlah. Terlalu banyak tulisan untuk menceritakan waktu yang sudah bertahun-tahun.
Ini
sudah enam belas bulan tidak ada kabar. Kalaupun ini memang saatnya untuk
hilang, saya rasa kesan dia di mata saya juga tidak akan berubah dan tidak hilang pula. Dia adalah
orang yang sanggup menyamarkan konteks tanpa harus kehilangan makna secara
utuh, mengajarkan cara menertawakan hidup yang kadang begitu tragis, juga menjalani
hidup yang tak perlu melulu konsisten.
Terima kasih, Ya. Selamat menempuh hidup baru, Ya.
Terima kasih, Ya. Selamat menempuh hidup baru, Ya.
Akhirnya menemukan tulisan yang penuh semangat dan nggak bikin galau. Hahahaha... -na
BalasHapus