Nanti
Di tengah segala keriuhannya, ia meninggalkan pesan
singkat. “Ada waktu?” Saya yang merasa telah diluputkan tentu saja meninggalkan
segala yang sedang dilakukan—pun itu hanya untuk pengalihan semata—demi
meng-ada-kan waktu.
Bertemulah kami dengan perjumpaan yang sudah dirancang
untuk sesaat. Sesaat pun sudah menuai arti daripada tidak sama sekali, apalagi dalam desakan tuntutan yang hampir tak ada waktu lagi buat apa pun, bahkan
siapa pun. Tapi, ini adalah kesempatan yang dibuat-buat.
Pertemuan itu diawali dengan saling melempar tawa dan
pandangan, seperti yang sudah-sudah. Kami sama-sama tahu apa yang sedang
terjadi dan apa yang akan terjadi. Kemudian, dia hanya bilang. “Inilah.” Saya
balas sama, “Inilah.”
Ini adalah saat ketika satu-satunya yang diinginkan hanya
pertemuan, tanpa tahu apa yang harus dilakukan ataupun dikatakan. Dan, kami
masih sama-sama tahu itu. “Saya merasa harus bertemu kamu.” Saya menunduk
sebentar, lalu menegakkan wajah melihat matanya, “Saya tahu. Terima kasih sudah
menyempatkan diri.”
Setelahnya, saya tidak bisa menahan segala yang sudah
ditahan-tahan. Saya menunduk lagi supaya air mata saya tak terlihat. Dia
mungkin sudah menduga ini akan terjadi. Kakinya melangkah semakin mendekat. Saya
hanya bisa melihat sepatunya; warna hitam atau coklat. Kemudian, terasa ada
peluk yang hangat, mendekam, seakan memastikan ini akan berlalu dengan baik-baik
saja. Saya memberanikan diri mengangkat wajah saya, memperlihatkan derai air
mata, sambil menertawakan kejadian ini. Tawa saya berbalas. Itulah perjumpaan
akhir kami.
Komentar
Posting Komentar