Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2012

berdiri sendiri

Rasa ini menggelayut tanpa dahan Bercerita daun pada rasa yang mulai melayu Dikisahkannya cerita sendu Tentang dahan yang jatuh oleh usia Di mana lagi rasa ini harus bertahan? Menapak pada basahnya tanah Atau embun yang bersuka cita tapi hilang sekejap Daun melepaskan rasa Diajarkannya untuk berdiri sendiri Menembus hutan dalam kelam Tak pernah tersesat akibat usia

Beperjalanan

Sore itu, Ia hanya duduk manis di depan meja makan. Kepalanya sedikit menunduk dan tangannya bergerak menulis. Rangkaian kata terlihat tersusun rapi berderet ke bawah. Aku mengamatinya. Kagum. Aku selalu kagum dengan mimik setiap orang yang sedang serius mengerjakan sesuatu. Energinya terlihat lebih besar. Setelah mengamatinya dari samping, aku mendekatinya. Duduk diam di sampingnya sambil menyeruput teh panas. Aku sangat berharap Ia tidak keberatan dengan kehadiran orang lain di sebelahnya. Nyatanya, Ia memang tidak terganggu. Terus saja kepalanya sedikit menunduk dan tangannya bergerak menulis. Tak diindahkan kehadiranku, meskipun Ia tahu betul aku ada di sampingnya. Tak berapa lama, Ia menarik punggungnya ke belakang. Untuk sementara waktu, matanya tidak berpindah dari kertas yang ada di atas meja dan penuh dengan tulisan tangannya. Kemudian, Ia melihatku. Tersenyum. Aku menahan tanyaku. Setiap orang patut berkegiatan tanpa harus ditanya macam-macam. Ia membakar se

Kamera

Gambar
gambar diambil dari  http://weheartit.com/entry/34376680 Setiap perjalanan, kamera tak pernah luput dari genggamannya. Berkali-kali, kami harus berhenti untuk memberikan jeda kepadanya. Katanya, ini untuk mengabadikan momentum dalam perjalanan hidupnya. Meratapi kembali tiap memar dalam perjalanannya dalam menghabisi usia. Sementara itu, saya sigap menikmati tiap rasa dan menabur makna dalam tiap momen yang sama itu. Setelah penghabisan waktu, saya sering menanyakannya tentang momen-momen yang pernah kami lalui bersama. Ia acap kali tidak mengingatnya, kecuali ketika disuguhkan gambar-gambar yang diambilnya. Itu saja yang dia ingat. Kejadian di antara satu gambar dan gambar lainnya pun ia tidak mampu untuk mengingatnya.  Dengan begitu, saya juga pernah bertanya kepadanya, mengapa ia begitu membatasi ingatan dan kenangan. Begitu terbatas pada gambar. Sementara saya, begitu ingat tiap harum, rasa, dan kesan yang tertinggal perjalanan itu. Bahkan, tanpa gambar sekali pun.  Ia

Benang

Gambar
gambar diambil dari  http://weheartit.com/entry/29124862 Sepanjang hidup, kita hanya menebar benang. Itulah hasil pembicaraan malam itu. Terus-menerus menebar benang dengan warna yang berbeda-beda. Tak jarang, kita menebarnya tanpa keinginan, bahkan tanpa kesadaran. Kalau begitu, apalagi dengan maksud, nyaris tak pernah bermaksud. Kita jarang mempunyai tujuan dalam menjatuhkan benang-benang itu. Makanya, kita cenderung tak merasa lelah ketika melakukannya.  Pada saatnya nanti, benang itu menarik perlahan-lahan. Tanpa usaha pula. Terjadi begitu saja. Kita seolah mengurutkan kembali benang yang pernah kita tebar. Sering kali bahkan, warna benang itu tercampur di ujungnya. Indahnya, saat kita menemukan ujung benang itu selalu menjadi saat yang paling tepat.  Akhir-akhir ini, saya merasakan betul hasil rajutan benang-benang itu. Awalnya, memang terlihat kusut. Namun, perlambat, kita dapat menarik satu per satu benang itu.  Pada saat kehilangan kepercayaan akan apa pun, saya b

pada suatu saat nanti

Pada suatu saat nanti, kita akan tiba pada satu masa untuk mempertanyakan banyak hal. Menanyakan alasan yang sudah dirancang sedemikian rupa sekaligus melupakan banyak alasan yang terlanjur diyakini. Saat itulah, kita akan berada pada atau titik untuk meragukan banyak jalan.

Lampu Kota Tengah Malam Ini

Malam ini, saya rindu betul pada lampu kota. Dicahayakannya malam yang sedang berkunjung, mencoba menghibur insan yang sedang merayakan kegelapan. Saya pun pergi tanpa tujuan hanya mengikuti arah. Entah ujungnya berada di mana. Sayang sekali, lampu kota Jakarta tidak semerindu itu kepada saya. Bersembunyi mereka di balik kehingaran kota. Menyelundupkan diri di antara kelelapan yang lelah. Namun, lengangnya kota Jakarta tengah malam ini menyadarkan saya kembali. Hidup tidak sesibuk dan sehimpitan yang saya kira. Masih banyak ruang yang menanti. Menemukan dan ditemukan saling melekatkan diri; terlalu berdempetan hingga kesulitan untuk dicari perbedaan atau makna di antaranya. Jika memang yang dicari senja, apakah sore sudah memberikan jawaban? Bahkan, pada perpaduan hari ini dan esok saja, saya masih rancu untuk menapak. Senja adalah pencarian lama yang hanya akan sementara. Berjanji datang kembali tanpa mengetuk dan meninggalkan saya tanpa jejak. Biarlah merahnya pagi menjadi janji

Senja

Senja itu layaknya aku dan kamu Dinanti benar sejak matahari utuh Namun, bukan untuk waktu panjang Singkat sudah cukup bagi aku dan kamu Saling percaya bahwa ruang dan waktu Merupakan bagian dari persepsi Kemudian, senja pun akan menghilang Ditelan gelap dan digantikan pagi Aku dan kamu tak pernah khawatir Meskipun lama tak ada Pasti ruang dan waktu memilih kita kembali Sesingkat senja Seindah senja Semenjanjikan senja Namun, selamanya bukan milik aku dan kamu Aku dan kamu singkat Penuh pesona Aku dan kamu merupakan peralihan Dari ada menuju tidak ada Dari tidak ada menuju ada Aku dan kamu adalah antara Seperti senja