Sikat Gigi

Sudah bermalam-malam, saya menghabiskan waktu di belakang meja kantor. Keluar-masuk ke dunia dalam kepala saya sendiri ditemani hal-hal yang memang harus diselesaikan. Saya tahu, bahkan saya percaya, ini adalah ruang yang dapat membuat saya merasa berada di daerah aman. Maka itu, saya tidak keberatan untuk berlama-lama.

Begitu pun tadi malam. Saya pulang dan menghabiskan sepiring mie goreng yang sudah didamba. Makan lahap seolah baru saja pulang dari medan pengakuan sebagai bentuk kekalahan pertahanan. Setelahnya, saya melelapkan diri.

Pagi tadi, saya sikat gigi lebih lama dari biasanya. Perhatian saya tersita pada sebuah sikat gigi yang berdiri di dalam gelas. Sudah lama tidak digunakan, mungkin si empunya sudah lupa juga pernah meninggalkan sikat giginya di tempat saya.

Saya tidak ingin membuang sikat gigi itu. Saya biarkan saja di situ. Membuka kesempatan untuk tetap terjadi, entah kapan. Saya jadi mengingat kemudahan-kemudahan kami untuk menghabiskan malam bersama, bukan hanya di tempat saya, pun di mana saja.

Meskipun sikat gigi tersebut sudah tak pernah ditengok empunya, bukan berarti saya tidak dekat lagi dengan si empunya. Malam-malam saya di kantor bahkan lebih sering dihabiskan bersamanya. Kisah kami masing-masing tertumpuk habis tanpa halaman.

Saya jadi tersadar, banyak elemen yang sering dianggap sebagai penanda tidak berlaku lagi. Berkurangnya waktu dia untuk datang ke tempat saya bukan berarti kami tidak punya waktu bersama lagi. Hanya saja, kami punya ruang lain sekarang.

Terima kasih telah meringankan waktu saya yang tidak mudah untuk terlewati.

Komentar