Bukankah Kita adalah Senja?


Sekian lama sudah, kita menjadi orang asing di tengah keakraban. Tak pernah sungkan untuk kembali setelah lama tak berkabar. Begitulah kita; seenaknya pergi dan kembali. 

Kita terlalu sadar bahwa di antara pergi dan kembali, sebenarnya, kita sama-sama menetap. Seperti yang kita pernah sepakati, kita adalah senja. Tak perlu ragu, selalu kembali.

Kebiasaan ini memang terlalu menyakitkan bagi orang yang menyimpan perasaan. Mendamba keberlanjutan, padahal entah untuk apa. Lagi-lagi, kebiasaan ini mungkin lebih menyenangkan sebenarnya. Namun, keberlanjutan sering kali dimitoskan pembawa kebahagiaan.

Suatu senja nanti, kita akan bertemu kembali. Bercerita apa saja yang kita mau. Kemudian, menertawai kepedihan yang melukai hidup kita. Tanpa keinginan saling mengobati, kita akan menghabiskan minuman di depan kita.

Salah satu dari kita akan bercerita. Kali ini, ceritanya berbeda. Salah satu dari kita akan merayakan perasaannya. Bercerita tentang pembiarannya tentang harapan. Berani mengambil langkah untuk menjauh; menjadi jauh. Toh, perasaan kadang untuk dinyatakan.

Apapun yang terjadi setelah itu, aku dan kamu akan tetap menjadi aku dan kamu. Saling mengingat di dalam kepala sosok yang ada di hadapan. 

Sosok itu selalu memesan kopi panas dengan gula merah. Tak pernah dingin dan juga tak pernah dengan gula putih ataupun gula cair. Lebih suka menikmatinya tanpa gula sekali pun kalau gula merah tak tersedia. Kacamata diletakkan di atas kepala masing-masing. Kemudian, tangan kita sering kali menarik-narik muka  seakan mengendorkan otot muka yang terlalu kencang ketika membicarakan sesuatu yang dianggap berat. 

Tangan kita selalu bergerak seakan sedang berada di belakang kemudi ketika bercerita yang diawali dengan kejadian sedang menyetir. Kadang, kita tambahkan pula suara mobil semacam "ngeeeeng, ngeeeng, ngeeng".

Bukankah kita adalah senja? Tak pernah berjanji, tapi selalu menepati.

Komentar