Surat Samudra #1

Kepada Samudra,

Kamu ada tanpa hadir. Aku sudah berada di antara perairan, dikelilingi lautan. Entah menujumu atau justru menjauhkanmu. Aku hanya tahu, tepian masih begitu dekat--meskipun tak terlihat, semudah aku berputar arah untuk berlabuh.

Mungkin, aku sudah bertemu denganmu. Mungkin juga, kamu masih menungguku di tengah sana. Mungkin juga, kita akan bertemu di tengah antah-berantah; ketika tepi sudah tak menjadi harapan. Saat itu, pasti niatku sudah semakin bulat bahwa aku hanya mau berlayar bersamamu, Samudra. Tanpa berlabuh lagi.

Samudra, aku ingat pembicaraan kita malam itu melalui bintang. Katamu, pada saatnya nanti, aku akan pulang dalam keadaan tersesat. Saat sudah bertemu denganmu, aku akan merasa pulang. Namun, pada saat yang sama, aku juga merasa tersesat karena tidak tahu berada di mana. Jalan menuju rumahku dulu tak akan terlihat lagi. Pertemuan denganmu sama juga dengan menyesatkan diri.

Apakah kamu menunggu waktu yang tepat? Apakah tepat itu, Samudra? Kita tahu betul bahwa tepat tidak berasal dari satu atau dua kali percobaan. Penilaian atas sekian banyak uji coba yang terkesan meyakinkan sampai akhirnya kita sadar betul makna tepat. Apa yang membuatku tak bisa seperti banyak orang? Mereka bisa bilang tepat dengan satu kali tatapan. Apakah karena kita belum pernah bertemu?

Aku begitu rindu kepadamu, Samudra. Kita memang belum pernah bertemu, tapi aku haus akan gulunganmu dan arusmu. Kamu ada tanpa hadir.


Apakah ini caramu untuk hilang? Bagaimana bisa hilang bila kau begitu luas?

Semoga saja kamu bisa membaca kata-kata.

Salam manis.

Komentar