Datang dengan jaket hijau andalannya, ia memilih duduk di sebelahku. Keringatnya menunjukkan usahanya sampai bisa ada di hadapanku, tetapi senyumnya tidak berkurang sedikit pun. Hobinya memang jalan kaki. Dari kantornya yang ada di sekitaran bundaran HI, ia berjalan kaki menuju kuningan, tempat janjian kami. Pada awalnya, aku sudah menawarkan untuk bertemu di tempat yang lebih dekat dengan kantornya. Toh, aku juga naik mobil. Namun, katanya, kuningan selalu manis untuk pertemuan. *** Setelah memesan satu cangkir kopi hitam yang panas tanpa gula, aku membuka jaketku. Perjalanan tadi memang tidak sejauh biasanya, tapi cukup membasahkan punggungku untuk pertemuan yang kuduga akan manis. Kemudian, kuperhatikan matanya. Ia sering mencuri pandang ke lenganku. Dia memang pernah bilang tertarik dengan lelaki bertato. Namun, aku mencurigai itu sebagai penarik kenangan dari lelaki yang pernah dekat dengannya. *** “Apa kata Jakarta malam ini?” pertanyaan pembukaku samb...