Surat Samudra #6

Kepada Samudra,
kamu ada tanpa hadir.
Di tengah teriknya matahari, saya berkumpul di suatu balai di Desa Tenganan. Ada Pak Mangku duduk di depan. Tepat ketika ia dan yang lain menjelaskan filosofi desa bahwa semua sebaiknya seimbang dari empat penjuru mata angin, saya melihatmu pada sorot matanya. Ketenangan. 
Saking tahu dan peduli, ia seakan bergeming. Orang melihatnya sebagai ketakpedulian akan arus. Saya melihatnya sepertimu: penerimaan. Bahkan, lebih jauh, pemahaman sekaligus pemakluman.
Tutur katanya begitu kharismatik. Apalagi, ia juga mengatakan bahwa sumbernya di tengah. Tengah pun tak perlu begitu literal. Perputaran yang terus-menerus pun menjadikan tengah sebagai sumbu, poros.
Inikah kenaifan saya? Merasa berputar-putar dan ingin keluar, padahal perputaran itu justru cara saya menjadikan tengah sebagai sumbu.
Samudra, sungguh kamu bisa hadir melalui cara apa pun. Teduh mata orang lain. Tutur kata orang lain. Saya merasa bertemu denganmu siang ini, menjawab rindu saya.
Samudra, semoga kamu bisa membaca kata-kata. 

Salam rindu, 
Perindu

Komentar