Postingan

Malam Penghargaan

Selamat malam. Yang saya hormati: Ibu dan Bapak Juri, juga Ibu dan Bapak RT serta RW, Bapak dan Ibu di rumah yang saya harap tidak mendengarkan ini, apalagi kakak-kakak saya; yang saya sayangi: teman-teman yang sudah membuang-buang waktu, saya ucapkan selamat malam. Saya tidak mempersiapkan omongan ini. Sama sekali tidak. Jadi, ini saya rada bingung harus bicara apa. Ini semua di luar dugaan. Untuk sesuatu yang terjadi di luar dugaan, tentu saja ini bukanlah yang pertama kali dalam hidup saya. Tapi, tetap saja, selalu ada efek kejut. Selalu terasa seperti yang pertama. Efek kejut itu bisa bermacam-macam. Yang satu ini, tentu saya merasa tidak pantas. Bagi saya, bisa dikatakan cukup seringlah—kalau tidak bisa dibilang banyak—saya mendengar kisah yang lebih tragis daripada cerita-cerita yang terjadi dalam hidup saya. Jadi, sebagai salah satu penerima Penghargaan Pecundang Andal, saya merasa sebenarnya saya kurang sepecundang itu. Pun, memang, memang benar, saya memang pecundan...

Persapian Nasional

“…perpindahan itu membuat mereka stres dan mereka itu gampang stres. Hanya pindah dari kandang ke tempat pemotongan saja, itu bisa mengurangi berat badan mereka satu sampai dua kilo. Itu, kan, hanya…” Saya kesusahan menahan air mata untuk keluar. Kaca mata saya naikkan ke atas kepala, kemudian tangan kanan menghapus air mata di mata kanan; tangan kiri menghapus air mata di mata kiri. Menutupi ketengsinan, saya tertawa. Ia menghentikan ceritanya yang dari tadi terus berlanjut. Perkara sapi. Peliharaannya. Entah peliharaan atau pembantaian, ia sayangi sedemikian rupa semasa hidupnya untuk kemudian dihilangkan—kalau tidak mau bilang dibunuh atau disembelih. “Eh, Bontot. Kok sedih?” “Kasian sapi-sapinya, Mas,” saya menjawabnya sambil tertawa, tangan saya masih sibuk menghapus air mata. Tertawa hanyalah respons spontan saya untuk mengelabui malun. Mungkin, saya memang lebih laknat. Ketimbang perikemakhlukhidupan, perasaan malun saya lebih besar untuk ditutupi. “Jangan sed...

Untuk Er

“Dunia itu pincang.” Aku mengatakannya dengan muka memerah, membanting buku catatan ke meja, dan menyegerakan diri untuk duduk di hadapanmu. Aku tidak mendengar adanya tanggapan, maka kutatap matamu. Kamu sedang menopangkan dagu di tangan, senyum merekah, menatap dalam. “Ada apa, adik kecil?” tanyamu dengan senyum tak berhenti-henti. Tatapan serupa tak berubah, bahkan semakin merekah ketika aku mengolah segala kisah yang ogah untuk adil. Tawamu mengunci angkaraku. Muka kubuang ke samping, berikut pandangannya. “Memang pincang, memang tidak adil. Tapi, itu juga bisa jadi kesempatan untuk saling menopang dan membuat keadaan lebih baik,” ia tersadar aku mulai tak bisa dilerai. Kukembalikan tatapanku padanya. Saya siap mendengarkan kelanjutannya. Mari bicara tentang apa saja yang membuat kepincangan dunia: kebobrokan pemerintah dan parlemen, korupsi yang merajalela, konstruksi sosial yang menyudutkan, publik yang disamaratakan, konsep bibit unggul yang menyampingkan bibit tak berakses, vi...

SINESTESIA: Antarkan Saya Pulang

Gambar
“Habis bulan puasa,” atau “Tahun depan.” Itulah kalimat yang selalu terlontar dari personel Efek Rumah Kaca. Entah sejak tahun berapa. Omongannya bukan kosong, tetapi memang selalu ada yang keluar, entah Pandai Besi, ERK Remix, kolaborasi dengan musisi lain, merchandise , konser PanBes. Biar, sampai lelah untuk menanyakannya lagi karena terus merasa diakal-akali, celaan yang menghantui malah menjadi hambar saking lamanya. Sebenarnya, ini bukan hanya perkara celaan yang jadi kartu kunci, saya juga menanti betul-betul album ketiga Efek Rumah Kaca. Penantian terjawab dengan album yang dipirit-pirit. Satu single , satu single , konser di Bandung—yang tidak bisa ditonton karena saya sedang ada di Belanda. Saya sudah mempersiapkan diri untuk dua single yang siap diramu Pandai Besi, tapi ternyata tidak bisa setertebak itu. Satu album penuh keluar. Beberapa hari setelahnya, saya membeli melalui iTunes. Sekalinya transaksi pakai kartu kredit, tagihan muncul 600-sekian ribu. Saya kira album...