UU Tata Krama Penindak Hukum Indonesia
3 jam menunggu jaksa yang mengundang datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Itu adalah salah satu kasus yang dilempar kepada masyarakat untuk menentukan wajar atau tidaknya, sopan atau tidaknya, atau yang lebih makro bagaimana sistem hukum di Indonesia. Saya hanyalah satu orang awam yang tidak paham akan hukum. Namun, ketika saya harus berhubungan dengan sistem hukum di Indonesia, saya sangat tidak tertarik. Jaksa sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi salah satu panutan baru datang 3 jam kemudian setelah saksi datang.
Cukup banyak yang dapat dipaparkan dari hasil pengamatan selama 3 jam tersebut ditambah mengantri sidang selama setengah jam dan sidang itu sendiri selama kurang lebih 15 menit. Semua terdakwa menggunakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang, dan peci. Entah peci itu sebagai lambang salah satu agama atau sudah menjadi bagian dari pakaian nasional sejak Presiden Negara kita yang pertama selalu menggunakannya. Masih ada satu lagi yang seragam di antara para terdakwa. Mereka selalu menunduk dengan wajah memelas seolah mereka sudah cukup terhukum di dalam sana dan sudah menjadi orang yang paling soleha—walaupun pemakaian kata soleha sebenarnya cukup dekat kaitannya dengan salah satu agama di Indonesia namun itulah kesan yang ditampilkan; Indonesia sudah seperti negara yang berdasarkan agama.
Meja hijau itu diduduki oleh hakim ketua dan seseorang yang duduk di belakang papan nama bertuliskan ‘panitera’—entah apa sebenarnya yang ia harus lakukan. Jaksa duduk di samping dengan meja yang lebih rendah dan mengenakan pakaiannya di dalam ruang sidang di depan Hakim pula. Seseorang yang duduk di samping Hakim tersebut hanya terlihat merenung—merenung masih mengandung komponen makna berpikir, mungkin lebih tepat dalam konteks ini digunakan bengong—bahkan sesekali menguap menandakan kurangnya oksigen dalam otaknya.
Siang tadi terdapt kasus mengenai dua orang anak berusia 22 tahun yang tertangkap sedang mengkonsumsi putau di sebuah gang. Hukuman 1 tahun penjara serta denda sejumlah 1 juta rupiah dijatuhkan dan sudah dibacakan oleh Jaksa dengan artikulasi yang memang tidak jelas. Setelah ditanya Hakim, terdakwa mengaku tidak mendengar. Jaksa mengulang dengan wajah yang sangat tidak ramah dan posisi duduk yang bersender. So is this what we called public servants? Setelah itu, terdakwa mengganggukan kepala ketika ditanya apakah terdakwa memohon pengurangan hukuman atau apapun istilahnya. Ketika ditanya alasannya, mereka menjawab mempunyai tanggung jawab menghidupi anak. Itulah kehidupan Jakarta.
Kembali pada masalah sistem hukumnya. Ketika Hakim pada akhirnya membacakan jatuhan hukuman pada terdakwa, sang Jaksa berteriak memanggil temannya. Saat itu sidang belum selesai karena Hakim masih membacakan jatuhan hukumannya. Mungkin ini termasuk salah satu cara Jaksa dalam menghormati persidangan.
Kalau pemeran hukum bertata karma seperti itu, bukankah sebaiknya pemerintah membuat Undang-Undang Tata Krama Penindak Hukum? Daripada repot-repot berkontradiksi dengan masyarakat mengenai UU Pornagrafi dan Pornoaksi, lebih baik mengurus tata karma orang-orang yang mengatur UU itu. Kalau nanti penindak hukum berargumentasi bahwa hal itu tidak bisa disamaratakan atau bahkan merupakan aturan yang hanya bisa diatur secara individual, berarti UU ini tidak ada bedanya dengan UU Pornografi dan Pornoaksi.
Cukup banyak yang dapat dipaparkan dari hasil pengamatan selama 3 jam tersebut ditambah mengantri sidang selama setengah jam dan sidang itu sendiri selama kurang lebih 15 menit. Semua terdakwa menggunakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang, dan peci. Entah peci itu sebagai lambang salah satu agama atau sudah menjadi bagian dari pakaian nasional sejak Presiden Negara kita yang pertama selalu menggunakannya. Masih ada satu lagi yang seragam di antara para terdakwa. Mereka selalu menunduk dengan wajah memelas seolah mereka sudah cukup terhukum di dalam sana dan sudah menjadi orang yang paling soleha—walaupun pemakaian kata soleha sebenarnya cukup dekat kaitannya dengan salah satu agama di Indonesia namun itulah kesan yang ditampilkan; Indonesia sudah seperti negara yang berdasarkan agama.
Meja hijau itu diduduki oleh hakim ketua dan seseorang yang duduk di belakang papan nama bertuliskan ‘panitera’—entah apa sebenarnya yang ia harus lakukan. Jaksa duduk di samping dengan meja yang lebih rendah dan mengenakan pakaiannya di dalam ruang sidang di depan Hakim pula. Seseorang yang duduk di samping Hakim tersebut hanya terlihat merenung—merenung masih mengandung komponen makna berpikir, mungkin lebih tepat dalam konteks ini digunakan bengong—bahkan sesekali menguap menandakan kurangnya oksigen dalam otaknya.
Siang tadi terdapt kasus mengenai dua orang anak berusia 22 tahun yang tertangkap sedang mengkonsumsi putau di sebuah gang. Hukuman 1 tahun penjara serta denda sejumlah 1 juta rupiah dijatuhkan dan sudah dibacakan oleh Jaksa dengan artikulasi yang memang tidak jelas. Setelah ditanya Hakim, terdakwa mengaku tidak mendengar. Jaksa mengulang dengan wajah yang sangat tidak ramah dan posisi duduk yang bersender. So is this what we called public servants? Setelah itu, terdakwa mengganggukan kepala ketika ditanya apakah terdakwa memohon pengurangan hukuman atau apapun istilahnya. Ketika ditanya alasannya, mereka menjawab mempunyai tanggung jawab menghidupi anak. Itulah kehidupan Jakarta.
Kembali pada masalah sistem hukumnya. Ketika Hakim pada akhirnya membacakan jatuhan hukuman pada terdakwa, sang Jaksa berteriak memanggil temannya. Saat itu sidang belum selesai karena Hakim masih membacakan jatuhan hukumannya. Mungkin ini termasuk salah satu cara Jaksa dalam menghormati persidangan.
Kalau pemeran hukum bertata karma seperti itu, bukankah sebaiknya pemerintah membuat Undang-Undang Tata Krama Penindak Hukum? Daripada repot-repot berkontradiksi dengan masyarakat mengenai UU Pornagrafi dan Pornoaksi, lebih baik mengurus tata karma orang-orang yang mengatur UU itu. Kalau nanti penindak hukum berargumentasi bahwa hal itu tidak bisa disamaratakan atau bahkan merupakan aturan yang hanya bisa diatur secara individual, berarti UU ini tidak ada bedanya dengan UU Pornografi dan Pornoaksi.
Komentar
Posting Komentar