komitmen dari ibu
Pagi kali ini dibuka dengan berbeda, walaupun apa-apa di sekeliling tak berubah. Kopi, rokok, dan ibu yang selalu tak pernah tampak mengeriput di mataku.
Entah apa yang mengantarnya pada topik pagi itu. Tak dijelaskan langkah sebelumnya, langsung sampai tujuan. Komitmen, katanya. Semua orang butuh komitmen untuk tidak mendengar apa yang dianggap benar oleh sekitarnya, lanjutnya. Percaya pada komitmen. Itulah yang disampaikan begitu saja. Sebenarnya, masih banyak lainnya, tapi--maaf--tidak sesuai dengan apa yang aku percayai. Jadi, aku tidak mendengar sisanya. Mungkin, aku langsung mengaplikasikan nasihatnya. Tidak mendengar apa yang--bahkan--ibu anggap benar karena aku sudah berkomitmen untuk percaya bahwa tidak seperti itu "seharusnya".
Dalam setiap perkenalan, aku percaya itulah tempat dan saat untuk mengenal. Bukan mengenal orang, tapi konsep yang dipahami. Sejauh mana perkenalan itu membawa suatu bentukan baru hasil rekonstruksi. Betul memang, hasil rekonstruksi itu yang diharapkan bisa mengisi yang kosong atau bahkan membiarkan kekosongan itu. Siapa tahu kekosongan itu justru yang mencipta keutuhan.
Apakah rekonstruksi selalu membutuhkan martyrdom? Apa justru harus menghapuskannya? Aku tak mau sibuk dengan itu. Perkenalan itulah yang harus menjadi martyrdom. Pengorbanan penuh untuk suatu konsep yang dihasilkan bersama. Ketika tak bisa dikembalikan, cari dan tunggu lagi perkenalan selanjutnya. Tanpa menyerah. Setidaknya, nasihat ibu mengenai ketidakmenyerahan tetap dijalankan, meskipun tidak dalam konteks yang seharusnya diadon.
Adonan ibu memang sudah terbukti betul. Tapi, jika bahan dasar yang diambil, siapa tahu saya bisa cipta adonan lain. Tak hanya rekonstruksi, tapi adonan dekonstruksi.
Entah apa yang mengantarnya pada topik pagi itu. Tak dijelaskan langkah sebelumnya, langsung sampai tujuan. Komitmen, katanya. Semua orang butuh komitmen untuk tidak mendengar apa yang dianggap benar oleh sekitarnya, lanjutnya. Percaya pada komitmen. Itulah yang disampaikan begitu saja. Sebenarnya, masih banyak lainnya, tapi--maaf--tidak sesuai dengan apa yang aku percayai. Jadi, aku tidak mendengar sisanya. Mungkin, aku langsung mengaplikasikan nasihatnya. Tidak mendengar apa yang--bahkan--ibu anggap benar karena aku sudah berkomitmen untuk percaya bahwa tidak seperti itu "seharusnya".
Dalam setiap perkenalan, aku percaya itulah tempat dan saat untuk mengenal. Bukan mengenal orang, tapi konsep yang dipahami. Sejauh mana perkenalan itu membawa suatu bentukan baru hasil rekonstruksi. Betul memang, hasil rekonstruksi itu yang diharapkan bisa mengisi yang kosong atau bahkan membiarkan kekosongan itu. Siapa tahu kekosongan itu justru yang mencipta keutuhan.
Apakah rekonstruksi selalu membutuhkan martyrdom? Apa justru harus menghapuskannya? Aku tak mau sibuk dengan itu. Perkenalan itulah yang harus menjadi martyrdom. Pengorbanan penuh untuk suatu konsep yang dihasilkan bersama. Ketika tak bisa dikembalikan, cari dan tunggu lagi perkenalan selanjutnya. Tanpa menyerah. Setidaknya, nasihat ibu mengenai ketidakmenyerahan tetap dijalankan, meskipun tidak dalam konteks yang seharusnya diadon.
Adonan ibu memang sudah terbukti betul. Tapi, jika bahan dasar yang diambil, siapa tahu saya bisa cipta adonan lain. Tak hanya rekonstruksi, tapi adonan dekonstruksi.
Komentar
Posting Komentar