Maumu saja

Belakangan, ia terasa seperti terpojok. Dianggap menghilang dari dunia yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Saya tahu, sangat tahu, ia mengasingkan diri untuk menjalankan sesuatu yang dinamai tanggung jawab pula. Persetan dengan tanggung jawab, katanya. Semua sibuk minta waktu, teriak menuntut komitmen, kata-kata sarkastik pembuang uang. Ia pun sudah berusaha meninggalkan apa yang dimiliki. Hampir setiap hari, fesesnya penuh dengan sisa mie instant. Bangkai pisang pun menjadi satu-satunya makanan sehat. Tapi, maaf, itu bukan bagian dari tanggung jawab dia, pikir mereka. Saya sudah kasih tahu dia berkali-kali, semua orang pasti menagih haknya, temasuk, waktu, pikiran, dan kerja keras. Hidupmu pun bagian dari hak mereka, jawabku. Ia membisikkan perlahan bahwa identitasnya melenyap. Orientasi hidupnya terkikis sedikit demi sedikit, entah karena apa. Bahkan, mungkin karena kepercayaan orang, bisiknya. Atau, ketakutan yang tak kunjung lelah.

Malam itu, ia dihampiri temanku yang lain. Satu pertanyaan saja untuk malam itu. Apa yang membuat kamu bahagia, secara umum saja, tanya temanku itu padanya. Ia terdiam lama. Ia terlihat kesulitan untuk memberikan jawabannya, bahkan tak diminta deskripsi dari bahagia itu sendiri. Setelah temannya pulang, ia baru berbicara padaku. Dia bahagia ketika tidak percaya pada apa pun; sibuk dengan dunianya untuk membuat dirinya percaya.

Tak ada peran untuk memberi saran padanya. Mungkin saja, ia membuka pintu keyakinannya pada apa pun itu. Membiarkan keyakinannya pergi. Tak ada lagi yang perlu dipercaya. Tanggung jawab, komitmen, hak, kewajiban dilepaskan mengawang-awang saja. Ah, kawan, tidakkah kau sadar? Selagi kau membuka kunci itu, kau juga membiarkan segala keyakinan yang lain sibuk berebut di kandangmu itu. Ah, aku harus bersabar lagi; menemanimu merancang cetakan biru untuk segala urusan hidupmu yang tadinya hampir selesai. Tidakkah kau tahu itu sungguh melelahkan? Tapi, lagi-lagi aku sadar. Itu tujuan utamamu, yaitu bahagia yang belum bisa kamu deksripsikan, bahkan pada usia kesekian. Silakanlah, kawan. Maumu saja.

Komentar