pulang

Malam tadi, saya bangun tergagap. Keresahan memenuhi kamar. Langsung saya toleh kiri-kanan, memastikan di mana sebenarnya kenyataan berada. Semua lengkap seperti sebelum saya tinggalkan. Namun, rasa lega belum bisa meluluhkan kecemasan.Saya biarkan saja seolah tak peduli. Bunga tidur kadang memang begitu jahat daripada apa yang sebenarnya.

Tiga jam setelah terbangun, saya coba mencernai bunga-bunga itu. Hanya ada saya dan kakak perempuan saya di antara empat bersaudara itu. Ibu, kakak, dan saya sangat telrihat panik di dalamnya. Ayah kesakitan, tetapi--seperti pada kenyataan--bersikap seperti tak apa-apa. Masih bersedia menyetir untuk kepindahannya dari RS Harapan Kita ke RS Pondok Indah. Di perempatan Antasari, setelah dibujuk-bujuk, akhirnya ia meminta saya untuk menggantikannya.

Bunga belum selesai. Sesampainya, seorang adiknya marah-marah kepada Ibu karena dianggap tidak mempunyai waktu. Saya pun berani menerobos posisi hierarkis yang dipegang teguh dalam budaya Jawa kami. Saya tantang dia dan berjuang mati-matian membela Ibu yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri memberikan seluruh waktunya untuk Ayah.

Ah, kembali saya yakinkan, itu hanya bunga tidur. Saya mencari apa yang bisa membelah pikiran saya. Pada jam kelima setelah terbangun, saya tidak tahan. Saya hubungi Ibu saya. Tanpa persiapan harus bicara apa. Ketika mendengar suaranya, saya tersedak. Syaraf-syaraf yang bereaksi justru di mata. Otak tidak mengirimkan perintah apa pun pada bibir.

Saya tidak pernah menyangka hari ini akan datang.

Saya akan pulang malam ini.

Komentar

  1. waaww!! baca ini bener2 bisa bikin jantung gw berhenti berdegup.. awesooooommeee!!!

    BalasHapus
  2. dan hari itu saya tidak berhenti menangis

    BalasHapus

Posting Komentar