35 tahun

Hari ini Ibu saya meminta pulang; memohon saya untuk membatalkan jadwal mengajar saya sore ini. Saya pun begitu ketakutan akan berita yang nantinya diterima. Tak mau sendiri, saya hubungi kakak-kakak saya yang lain. Kemacetan dan kederasan hujan saya terabas.

Sesampainya di rumah, formasi sudah lengkap, tentu saja kecuali kakak saya yang pertama karena terlalu dan selalu sibuk. Ibu saya menjelaskan cerita pagi tadi kepada kami.

Hari ini adalah hari di penghujung Mei. Artinya, hari terakhir ayah berada dalam jabatan struktural di kantornya. Sudah selama 35 tahun, ayah selalu pulang pergi ke kantor yang sama di tempat yang sama pula. Tentu saja, dari bukan apa-apa sampai menjadi apa-apa. Hari ini pula, saya belajar untuk menjadi apa-apa.

Ibu pun memutar di hadapan kami sebuah video yang dibuat oleh rekan kerja dan anak bimbingan ayah saya di kantor. Begitu detil video itu. Semua diawali oleh kantor ayah saya di bilangan Gatot Subroto yang hampir tak berubah bentuknya sejak saya pertama kali ke sana. Kemudian, ada foto ayah saya waktu pertama kali masuk ke kantor itu. Ya ampun, muda sekali. Layaknya anak-anak muda pada zaman itu. Umurnya masih 25 tahun. Ya, seumur saya.

Terlihat jelas pergantian dari tahun ke tahun. Mulai dari harus memilih satu partai selama puluhan tahun, memakai seragam dua warna--biru putih Korpri--pada waktu--waktu tertentu sampai seragam itu sudah bermotif agak modern sekarang. kata Ibu, ayah naik motor ke kantor awalnya. Pada akhir-akhir masa jabatannya, ia mendapat fasilitas mobil dari kantor. Lucunya, mereka bahkan mengambil gambar tempat ayah saya selalu parkir mobil, yaitu di dekat pintu belakang. Padahal, ia mendapat tempat parkir khusus di deretan depan kantor. Itulah ayah saya. Selalu melakukan hal yang sama, seperti parkir di tempat yang sama, makan makanan yang sama, restoran sama; susah mengubah kebiasaannya. Namun, mobil itu sudah dikembalikan tadi pagi. Saya ingat betul pesannya, "Sebelum ditagih negara, kita harus kembalikan apa yang sudah tidak menjadi hak kita".

Tergambar pula bagaimana ayah saya selalu datang pagi dengan koran di tangan kanannya. Pagi-pagi benar ia selalu sudah berangkat. Memang, tahun-tahun terakhir, dia memang suka bilang kepada saya, "Papa sudah capek kerja, i. Papa lagi males kerja". Tapi, males dan capek dia bukan berarti santai di rumah. Dia tetap berangkat paling pagi di antara kami dari rumah. Itulah pesan dia Jumat kemarin, "Kamu berangkat lebih cepat biar orang nggak nunggu. Kamu aja yang nunggu. Nggak apa-apa nunggu sebentar, kan?"

Pada scene berikutnya, terlihat ayah saya sedang memimpin rapat. Beberapa potongan juga memperlhatkan ia sedang memberikan laporan kepada atasannya, Anggota. Selain sesi formal, ada pula sesi ia sedang memadu tawa dengan anak bimbingannya. Tak kenal batas ia membuat canda untuk mengakrabkan. Katanya dulu, "Supaya kerjanya enak, suasananya harus dibuat enak".

Tak hanya ayah saya. Ibu saya pun ada di banyak momen kantor ayah saya. Dulu, ibu selalu punya usaha sendiri di rumah untuk menopang keuangan keluarga mengingat gaji ayah saya yang tidka seberapa. Namun, semenjak ayah saya kena serangan jantugn di kantornya, ibu memutuskan untuk berhenti bekerja dan aktif di Dharma Wanita di kantor ayah. Dia mau lebih dekat dengan ayah untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi. jadilah ibu saya pun dikenal dengan baik di kantor ayah sejak itu. Banyak peran pula ia sumbangkan kepada kantor ayah.

Tersesak saya pun menonton video itu. Derai air mata coba saya tahan karena kami sebenarnya tidak terlalu ekspresif dalam hal itu. Namun, sepanjang perjalana pulang, saya tidak bisa membendungnya lagi. Saya bangga sekali sama ayah dan ibu saya. Saya ingin sekali menjadi seperti mereka. Loyal, kerja keras, tak kenal lelah, semua demi keluarga--keharmonisan dan ketidakharmonisan. Sudahlah, harmonis atau tidak, biar kami yang menilai. Setidaknya, banyak yang bisa saya pelajari.

Komentar

  1. huhuhuh,, i envy you! can i order a father?

    tapi yang paling tobh "....kita harus kembalikan apa yang sudah tidak menjadi hak kita". kampayy buat si oom!

    BalasHapus
  2. dan dia mengajarkan saya untuk menunggu...

    Ah, Ayah, tak tahukan menunggu itu selayaknya Jakarta yang menantikan salju. Di atas ketakutan orang akan pemanasan global, Jakarta justru menantikannya. satu-satunya harapan akan jawaban penantiannya. Apakah jawaban selalu diantarkan oleh ketakutan?

    kampay, ap! bagus kok untuk jantung :p

    BalasHapus
  3. hohoho.. iya tuh, sementara banyak orang lebih bangga kalo terlambat, si oom malah ngajarin untuk menunggu.. hebaaatt!!

    hmm,, ya jawaban dari menunggu sepertinya hanya antara tersenyum atau malah kecewa, dan kenapa kita selalu takut kecewa? kenapa gak takut untuk tersenyum? hmm..

    1 gelas red wine stiap hari baik untuk jantung oom.. terbukti dengan para pastor ga pernah ada yang kena serangan jantung dan umurnya panjaaaaangg..

    BalasHapus
  4. hahaha.. kita terlalu pengecut untuk berani saja mungkin, hehe..

    BalasHapus

Posting Komentar