Kalian, Sang Pengejar

Sepulangnya nanti, aku dan kalian akan menjadi individu-individu yang begitu berbeda. Aku menyimpan amarah yang luar biasa terhadap ketidakadilan yang membabi buta; atas perlakuan-perlakuan yang mengatasnamakan kedewasaan. Kedewasaan yang dielu-elukan banyak orang seakan berdiri dengan tegar untuk menerima segala. Pemakluman akan segala sesuatu meraja lela dengan semaunya tanpa mempertimbangkan rasa yang makin terasah.

Ingatkah kalian akan malam-malam yang penuh dengan omongan yang jauh dari picisan? Kaum-kaum yang begitu haus dengan percakapan bernas dengan posisi yang sama rata sama rasa. Malam itu, kawan-kawan, tidak berarti kita sedang berbicara yang menyisihkan rasa dari hadapan kita. Kita sama-sama memendam rasa yang dikekang sedalam-dalamnya.

Jika kita berteriak lantang menuntut keadilan yang justru awal mula dari ketidakadilan, kita sama saja tak pernah adil pada diri kita sendiri. Merelakan diri untuk berdiam menekan rasa atas nama kelangsungan wacana yang sungguh sulit terjalin.

Sepanjang perjalanan ini, aku termakan oleh rasa yang terus terasah. Resah ini sudah tak bisa kubelendung hingga aku tak menemukan jalan tengah bagi diriku sendiri. Ia menuntut keadilan. Inilah bagiannya untuk dipertimbangkan. Saatnya untuk dijadikan perhatian. Ia ada tetapi merasa tak pernah berarti. Menggerogoti jiwa yang selalu menekannya dengan perkataan “kita akan baik-baik saja, rasa, pun hanya berdua di sini. Kita tak akan menuntut banyak dari keadaan yang makin lama makin merusak. Tak perlu sudah segala buaian yang malah bikin karut marut.” Tapi, sayangnya, itulah awal dari kekusutan jiwa. Penyangkalan dari kepentingan inti.

Sepulangnya nanti, aku tidak akan berbicara banyak kepada kalian yang sudah menelantarkannya. Aku akan hengkang tanpa permisi dan tak akan kembali lagi. Ini atas nama keadilan yang tak melulu penuh dengan irasional sekaligus rasional.


Ketika saatnya nanti kalian mempertanyakan itu semua, aku akan datang untuk menjelaskan kegelisahan akan keadilan yang wajar. Bahkan, pada diriku sendiri. Ketika kalian mempertanyakan itu, aku akan berdiri dan berkata, aku bertanya sepanjang jalan dan memutuskan menggenggam jawabannya sendiri. Bukankah ini yang kalian lakukan selama ini? Menganggap segala asumsi sebagai kebenaran tanpa mempertanyakannya kembali. Kebenaran milik masing-masing, memang, dan akan berubah bentuk semaunya. Segitu nisbinya kebenaran. Tapi, keadilan akan berdiri menatap minta perhatian. Dan, kali ini, aku akan memperhatikannya.

Bima, 13 November 2013

Komentar