Langit Rasa Penghujan, Hati Rasa Kemarau
Baiklah. Aku sudah siap mengatakan keterbataan—malam atau
pagi atau kapan lah itu—dengan lantang kali ini. Jika kamu bertanya-tanya, maka
jawabannya adalah iya. Segala pertanyaan yang ada dalam benakmu—yang sudah bisa
kuterka—menyimpan jawab: iya. Itu semua benar.
Kecuali satu. Satu saja. Pertanyaan yang pernah aku
ajukan itu bukanlah paketan. Bukan serta-merta menjadikan aku dan kamu seperti
ini. Tapi, sekarang, aku sudah salah tingkah. Aku begini, kamu anggap begitu. Aku
begitu, kamu anggap begini. Kamu pun terlihat salah langkah. Padahal, kalau
kamu mau tanya dan kemungkinan besar aku jawab iya, aku dan kamu bisa lebih
santai daripada ada di pantai.
Bukankah pantai itu lebih menyenangkan daripada riuh kota
yang bisu? Banyak malam terisi dengan semu, bukan? Tunggu dulu, malam aku dan
kamu juga tak kalah semu. Setidaknya, aku dan kamu sepakat untuk menyemukan
malam dan bertingkah sebiasa mungkin untuk pertemuan berminggu-minggu
setelahnya.
Maka, jawabnya adalah iya. Tapi, bukan berarti sebegitu
iyanya. Iya pun kadang butuh tidak dulu. Tidak pun bukan sesuatu yang mutlak.
Ingatkah kamu pada jawaban-jawaban kita yang selalu diikuti dengan kata “tapi”?
Tidak ada kemutlakan yang patut dirayakan. Mutlak adalah pengerdilan imajinasi,
bahkan rasa. Atau, pengerdilan rasa, bahkan imajinasi?
Haha. Itu! Iya juga! Tidak sembarang orang bisa terlena
berjam-jam untuk pembahasan atas penggunaan satu kata. Dan, itu terjadi di
antara aku dan kamu.
Suatu malam, kamu pernah bilang. “Aku butuh kamu untuk
narasumber fiksiku.” Aku jawab, “Silakan saja. Hidup ini penuh dengan fiksi
yang tak selesai-selesai. Mencengkeram kenyataan yang menggerus jiwa.” Kamu
balas singkat, “Kekeringan jiwa butuh sesuatu untuk terus mencipta yang tak
jarang berbenturan dengan kebutuhan untuk hidup.” Aku potong, “Bukan hidup kita
saja lagi, tetapi juga hidup orang-orang lain.”
Kemudian, sekarang, saat kamu membaca ini yang entah
kapan, kamu tidak akan mengingat percakapan itu terjadi di antara aku dan kamu.
Hanya satu kalimat dari sekian baris yang melekat. Namun, ini adalah rangkuman
dari pertukaran berbulan.
Tumpukan buku. Deretan majalah. Jajaran batang. Sampahan
kaleng. Mari dinikmati saja seperti tahun lalu. Pun, aku dan kamu bisa saja
menikmatinya seperti dua bulan lalu.
Mungkin, ini bisa aku kasih nama, “Langit Rasa Penghujan,
Hati Rasa Kemarau”.
Komentar
Posting Komentar