Sedangnya Sudah atau Akan? Oh, Sedangnya Akan Sudah
Ini bukanlah awal dari akhir. Tak ada pula akhir dari awal. Kita adalah proses
antara di antah-berantah.
Segala yang pernah telah menjadi sudah. Semua yang akan tetap di
angan-angan. Sedang adalah penjedaan. Memberi ruang untuk jarak yang memang
sudah berjarak. Sedang juga sendiri yang juga sudah menjadi hari-hari. Segala
ingat akan jadi lupa. Pun, lupa nanti akan terbersit dalam ingatan.
Maka, sudahlah. Segala terang semakin silau. Seluruh gelap justru membuka
selimut demi cari terang dalam ruang lain yang entah ada atau tidak. Seringnya,
kita lebih percaya pada kekosongan daripada isi yang penuh dengan kehampaan.
Tak ada layar penutup
panggung, juga tak ada lagu akhir. Panggung dibiarkan demikian saja. Penonton
yang masih menanti akan diam di tempatnya. Penonton lain lebih memilih keluar
dan membicarakan akhir dengan semau mereka. Para pemain berdiam di belakang,
masih menunggu aba-aba untuk keluar yang entah dari mana dan dari siapa dan
entah bilamana. Sebagian lagi tak ambil peduli. Dibersihkan wajahnya, diganti
bajunya, kemudian bergegas keluar mengikuti penonton lain.
Satu-satunya yang tak pernah selesai berperan adalah panggung itu sendiri.
Tak peduli seberapa banyak penonton, bahkan ada atau tidak adanya pemain.
Maka, demikianlah kita mengingat sudah, sedang, dan akan; layaknya
panggung.
Dan, saya mengikuti penonton lain keluar.
Bima, 13 November 2013 - Jakarta, 20 November 2013
Komentar
Posting Komentar