Postingan

Sejadi-jadinya

Aku ingin pulang. Mengetuk pintu dengan lunglai yang tak diada-ada; dengan gemetar yang tak berhenti sejak semula perjalanan. Melangkah gontai masuk ke dalam dengan lingkaran hitam di mata yang tak memudar-mudar. Menubruk ibu dan ayah dengan pelukan atas pemintaan untuk diselamatkan. Kemudian, menangis tanpa suara. Begitu lirih. Terisak sampai sesak dalam lingkar dada. Sejadi-jadinya. Hingga ibu dan ayah tak sanggup berkata-kata. Membalas pelukan sambil mengusap-usap punggung dengan perlahan. Berharap itu bisa menenangkan anaknya. “Ya, Gusti, apa yang sedang Kau ajarkan?” batin mereka dalam hati. Ibu dan ayah tak sibuk bertanya. Tak jua ingin menjadi pahlawan yang dapat menjawab banyak pertanyaan anaknya. Ibu dan ayah begitu paham bahwa anaknya tiba jua pada satu hari yang tidak diharapkan tapi pasti akan datang, kesedihan yang begitu mendalam. Menderu-deru tak karuan. Aku ingin pulang. Sebagai aku. Aku begitu menginginkan pulang. Tanpa meninggalkan ...

ASU

Aku terlentang, menatap lurus ke atas. Ia berdiri tepat di depanku. Memainkan mimik dan menggerakkan tangannya seadanya saja demi meyakinkan cerita yang sedang dibawakannya. Suaranya cukup pelan. Sesekali, ia melirik ke bawah, menatap mataku yang jaraknya tentu saja tidak dekat, mungkin untuk meyakinkan bahwa aku tetap memperhatikannya. Aku tertawa-tawa mendengarkan kisahnya yang entah tentang apa. Tapi, mimiknya sudah cukup memancing gelak. Ia juga tak sanggup menahan tawanya sambil terus berceloteh. Ini terlalu susah digambarkan, bayangkan saja jika kau sedang berdua dengan temanmu di satu ruang kecil dan sedang membicarakan komedi kehidupan tetanggamu tanpa ingin didengar yang bersangkutan. Permainan mimik kuat, suara rendah setengah berbisik. Kadang, yang lebih lucu bukan ceritanya, melainkan cara yang kalian berdua gunakan untuk menceritakan itu. Jika kau belum pernah berada pada situasi seperti itu, mungkin kau memang belum terlalu banyak...

Jakarta: Untuk yang Percaya

“Jakarta diperuntukkan bagi orang-orang yang percaya.” Begitulah yang selalu mereka katakan. Bukan hanya sekali-dua kali, tetapi berulang kali. Kemudian, di manakah tempat bagi orang-orang yang sudah tak mempercayai apa pun? Ini sungguh berbeda dengan orang yang tidak percaya sejak awal. Mulanya, kaum ini begitu percaya, tetapi pengalaman menuntut mereka untuk menolak itu kembali demi keberlangsungan hidupnya atau demi apa pun lah itu. Apakah mereka harus tersingkir dari ibukota yang mulia nan suram ini? Jakarta adalah ibukota harapan. Begitu banyak harapan yang terpanggul di pundaknya. Pun tak ada satu pun yang ia janjikan, orang menaruh kepercayaan yang berlebihan dan kemudian menuntut Jakarta untuk memenuhi harapannya. Memang, sesekali harapan itu terjawab. Tapi, ingat, itu hanya berlaku bagi sebagian orang. Dan, kata mereka, itulah jatah orang-orang percaya. Lalu, di manakah tempat bagiku? Mereka terbahak ketika kubertanya serius. Aku ikut nyegir seolah tahu le...

Selamat Kalah

Kita berempat bertemu di suatu dangau Selepas perjuangan tak menang sengau  Masing-masing taruh senjata di meja Tak ada ancaman di muka Setiap bercerita perjuangan dengan malu-malu Tak pakai kucing Sudah habis ia kita terkam untuk dimakan bersama Saking laparnya Musnah sudah perikehewanan kita Dua di antara kita memilih untuk lapar saja Pasang raut muka sengit di antara dahaga yang mereja Hei, kita sama-sama baru kalah Kamu kalah perang Dia kalah suara Dia kalah cinta Dan, saya kalah cepat Jangan cari kekalahan lain di dangau ini Kembali ke cerita Kisah-kisah itu berbalas manggut Pun, itu bukan berarti manut Dalam hati tetap bersungut Punyaku jauh lebih kelut Tiba-tiba, dia lempar belut Kita bertiga kaget lompat-lompat Dia juga loncat Tapi, dia kegirangan Maka kita saling menatap Dan turut terbahak Ya, kita sudah lupa cara berguyon  Tapi dendam tak hilang kesumat Setelah lirik-lirik tajam Saling beranggapan kode tertangkap kode Senjata d...