Postingan

Jangan Biarkan Aku Jangan Hilang

“Apakah ini semua yang saya inginkan dan perlukan? Dan, pertanyaan yang sama juga untuk pernikahan saya.” Dia menatap mata saya dan saya tak melepas tatapannya. Ia menyeka air matanya dengan guratan tegar yang tak dilepas dari parasnya. Tatapan itu terlepas sembari ia mematikan rokoknya di tempat sampah yang kami taruh di antara kami. Tempat sampah tersebut sudah hampir menyentuh batas atas, dipenuhi oleh plastik-plastik dan ampas kopi yang menumpuk. Saya melempar pandang ke sekitar. Tujuh meter dari saya, ada dua krat botol kosong yang ditumpuk. Di atasnya, ada tiga sampai empat gelas berisi kopi yang sudah tidak penuh lagi. Empat orang duduk di atas bekas keranjang buah atau telur yang diberi alas lagi untuk menyamankan bokong. Di pojokan lainnya, setting serupa juga terlihat. Di tempat saya sendiri, hanya ada kursi-kursi seadanya tanpa meja. Satu kursi kami jadikan alas untuk menaruh dua gelas kopi yang sudah diseduh. Dalam jeda pembicaraan itu, satu-dua orang la...

Tukang Kampanye

Dokter gigi adalah tukang kampanye strategis. Pemilihan kata tukang tentu saja semata menggunakan rasa bahasa. Ini pilihan dengan penuh kesadaran. Alih-alih menggunakan kata juru, kata tukang lebih sesuai dengan konteks untuk cerita ini. Dalam KBBI, juru diartikan sebagai ‘orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan, kecakapan, dan kecermatan (keterampilan).’ Padahal, dokter gigi dalam urusan kampanye hanya berurusan dengan hal yang biasa dilakukan dan itu lebih tepat menggunakan kata tukang ; sesuai dengan definisinya.* Jarum suntik anestesi di depan mata. Semakin dekat terlihat lebih besar. Ilusi optik. Artinya, semakin besar terlihatnya juga semakin besar rasa takut yang diakibatkannya. Masker terpasang untuk menutupi mulut sang pemegang suntikan. Itu bukan berarti omongannya tidak jelas terdengar, pun begitulah harapannya.   Ada jeda untuk menunggu anestesi itu berhasil hingga sebagian mulut kebal tanpa rasa. Untuk mengisinya, ia ber...

Jarak

Bagaimana saya mengucapkan selamat tinggal kepada Anda? Tanpa ini semua, saya dan Anda pun sudah berjarak. Ada rongga terselubung yang kita bungkam terus menganga. Ada rekat melekat yang kita bungkus dengan sengaja. Saya sudah mempersiapkannya dengan sematang mungkin. Memanggil Anda pada tengah malam untuk menghabiskan kali malam bersama. Kemudian, kita akan bicara tentang patung-patung yang mengangkasa. Juga tentang papan-papan yang merenggut jarak pandang kita. Beradu tentang sesat pikir yang karut-marut dan kemudian terjerembab di dalamnya. Termasuk tata cara menjadi orang asing di tengah keakraban yang sudah terlerai. Pun, ketika membicarakannya, kita terlupa: tiap malam adalah akhir. Saya dan Anda terlepas dari seberapa layak untuk mengakhiri ini. Dan, sama-sama sadar betul bahwa tak pernah kenal dengan awal. Akhir tak selalu disertai awal. Tapi, malam akhir nanti, saya dan Anda sudah berjarak. Jauh sekaligus dekat. Menjauh atau mendekat juga tidak menghila...

Surat untuk Bapak

Bapak, Bapak ingat sewaktu sering mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi? Karena keculunan, saya sempat setengah memohon untuk Bapak turun dan bilang keterlambatan saya kepada guru, tapi Bapak menolak. Bapak bilang, “Kalau saya terlambat, saya juga harus menanggung risikonya.” Waktu itu juga pernah, saya masih duduk bermalas-malasan di kursi, padahal saya sudah bilang akan pergi kencan. Bapak bilang, “Ayo, siap-siap. Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” Sekarang, saya selalu bolak-balik lihat jam kalau terlambat, kaki pun ikut goyang-goyang. Oh, apakah ini awal mula saya kerap menunggu pun saya sudah lama tidak kencan? Bapak ingat sewaktu sering menjemput saya latihan basket yang hampir setiap hari? Bapak selalu masuk pada awalnya dan melihat saya disuruh berlari-larian tanpa henti. Akhirnya, Bapak kerap memilih untuk ada di depan saja. Kemudian, bapak menunggu sendiri sampai saya selesai membasuh dan sedikit bercanda dengan teman-teman. Bapak duduk sembari...