pertemuan
Mereka berdua tidak pernah bertatap muka. Tidak sekali saja. Pun mereka sudah bertukar foto tanpa maksud karena intip punya intip melalui halaman-halaman digital. Diam-diam pula. Meskipun demikian, sebut saja mereka akrab. Hampir tak ada yang terlewat akan kisah keseharian yang bagi kita itu menjemukan. Bagi mereka, itu adalah berbagi yang dinanti-nanti.
Celoteh per celoteh tak terlewatkan melalui tuts atau suara manis pada hari-hari berikutnya. Semua terlalu begitu cepat. Tapi, apa yang tidak cepat? Dan, apa yang sebaiknya membuatnya tidak secepat ini? Kadang, benar-benar kadang, mereka berdebat kusir tentang wacana absurd dan diselesaikan dengan tawa. Kalau hari kita suram, hari mereka bisa mendadak ceria ketika salah satu memulai percakapan. Sudah, kita diam saja, nikmati kisah mereka. Kita tidak punya kisah yang semenarik mereka.
Di antara rutinitas yang membabi buta, satu di antara mereka ingin berjelajah memungkinkan segala kemungkinan. Diajukanlah satu pertanyaan yang mereka selalu bayangkan diam-diam dan menyembunyikan imajinasinya. Kita yang tahu suka tertawa pelan-pelan melihat pikiran mereka. "Kamu mau apa kalau ketemu aku nanti?" begitu pertanyaan awal salah satunya. Satu yang ditanya terkesiap. Merasa pertanyaan itu hanya ada dalam pikirannya dan enggan dibagi, siapa tahu bisa jadi kejutan, bahkan untuk dirinya sendiri.
"Kalau aku bertemu kamu, aku mau lari kecil ke arahmu. Memelukmu erat bagai sahabat lama yang terlalu lama tidak bersua," pancing si penanya. Yang ditanya senyum-senyum sendiri, merasa mendapat tanggapan indah atas imajinasinya yang dibekap manis. "Apakah kita selayaknya sahabat?" pertanyaan balik tanpa menjawab pertanyaan awal. Lama sekali pesan itu tidak mendapat jawaban. Yang ditanya kelimpungan, imajinasinya seperti tertahan. Ia membalas tak sabar, "Kalau aku bertemu kamu, aku akan mencari-cari kamu yang mana. Aku tidak tahan melihat tawamu langsung yang seolah terdengar renyah lewat kabel telepon."
Benar saja, itu langsung bersambut, "Telepon kita sudah tidak pakai kabel." Kita tertawa. Mereka pun juga. Mereka tahu ini adalah permainan untuk saling mematikan imajinasi yang kemungkinan besar padahal sama.
"Kalau aku bertemu kamu, aku tidak mau tidur, mau sibuk bicara ke sana-ke mari untuk bilang semu jadi nyata."
"Kalau aku bertemu kamu, aku akan tertawa."
"Kalau aku bertemu kamu, aku akan kasih buku yang selalu kita bicarakan."
"Kalau aku bertemu kamu, aku akan bawa orang tua."
"Hah, buat apa?"
"Biar mereka tahu calon menantu macam apa yang akan mereka lewatkan."
"Dan, kalau orang tuamu bertemu aku, mereka akan mengusap dada lega melewatkan calon menantu macam aku."
"Kalau aku bertemu kamu, kamu akan berlari kecil ke arahku."
"Kalau aku bertemu kamu, kamu akan memelukku erat."
"Kalau aku bertemu kamu, mungkin salah satu dari kita tidak akan menghampiri."
"Kalau aku bertemu kamu, mungkin kita tidak akan seintim ini lagi."
Kita tertawa saja. Mereka asyik bermanis-manisan dengan caranya sendiri. Kita manyun saja seharian. Hujan di luar. Aku di sini. Kamu di sana. Mereka di sana. Tak ada kejadian apa-apa.
Celoteh per celoteh tak terlewatkan melalui tuts atau suara manis pada hari-hari berikutnya. Semua terlalu begitu cepat. Tapi, apa yang tidak cepat? Dan, apa yang sebaiknya membuatnya tidak secepat ini? Kadang, benar-benar kadang, mereka berdebat kusir tentang wacana absurd dan diselesaikan dengan tawa. Kalau hari kita suram, hari mereka bisa mendadak ceria ketika salah satu memulai percakapan. Sudah, kita diam saja, nikmati kisah mereka. Kita tidak punya kisah yang semenarik mereka.
Di antara rutinitas yang membabi buta, satu di antara mereka ingin berjelajah memungkinkan segala kemungkinan. Diajukanlah satu pertanyaan yang mereka selalu bayangkan diam-diam dan menyembunyikan imajinasinya. Kita yang tahu suka tertawa pelan-pelan melihat pikiran mereka. "Kamu mau apa kalau ketemu aku nanti?" begitu pertanyaan awal salah satunya. Satu yang ditanya terkesiap. Merasa pertanyaan itu hanya ada dalam pikirannya dan enggan dibagi, siapa tahu bisa jadi kejutan, bahkan untuk dirinya sendiri.
"Kalau aku bertemu kamu, aku mau lari kecil ke arahmu. Memelukmu erat bagai sahabat lama yang terlalu lama tidak bersua," pancing si penanya. Yang ditanya senyum-senyum sendiri, merasa mendapat tanggapan indah atas imajinasinya yang dibekap manis. "Apakah kita selayaknya sahabat?" pertanyaan balik tanpa menjawab pertanyaan awal. Lama sekali pesan itu tidak mendapat jawaban. Yang ditanya kelimpungan, imajinasinya seperti tertahan. Ia membalas tak sabar, "Kalau aku bertemu kamu, aku akan mencari-cari kamu yang mana. Aku tidak tahan melihat tawamu langsung yang seolah terdengar renyah lewat kabel telepon."
Benar saja, itu langsung bersambut, "Telepon kita sudah tidak pakai kabel." Kita tertawa. Mereka pun juga. Mereka tahu ini adalah permainan untuk saling mematikan imajinasi yang kemungkinan besar padahal sama.
"Kalau aku bertemu kamu, aku tidak mau tidur, mau sibuk bicara ke sana-ke mari untuk bilang semu jadi nyata."
"Kalau aku bertemu kamu, aku akan tertawa."
"Kalau aku bertemu kamu, aku akan kasih buku yang selalu kita bicarakan."
"Kalau aku bertemu kamu, aku akan bawa orang tua."
"Hah, buat apa?"
"Biar mereka tahu calon menantu macam apa yang akan mereka lewatkan."
"Dan, kalau orang tuamu bertemu aku, mereka akan mengusap dada lega melewatkan calon menantu macam aku."
"Kalau aku bertemu kamu, kamu akan berlari kecil ke arahku."
"Kalau aku bertemu kamu, kamu akan memelukku erat."
"Kalau aku bertemu kamu, mungkin salah satu dari kita tidak akan menghampiri."
"Kalau aku bertemu kamu, mungkin kita tidak akan seintim ini lagi."
Kita tertawa saja. Mereka asyik bermanis-manisan dengan caranya sendiri. Kita manyun saja seharian. Hujan di luar. Aku di sini. Kamu di sana. Mereka di sana. Tak ada kejadian apa-apa.
Komentar
Posting Komentar