Restu Ibu

"Ini malam aku dan dia biasa habiskan semaunya. Namun, kali ini, aku merasa jauh lebih semaunya. Benar-benar semaunya saja.

Dengan kesadaran baru ini, aku justru merasa menjadi individu yang lebih bebas; tidak terkukung atas keinginanku sendiri. Suatu titik, aku justru mempertanyakan ruang yang kuberikan kepadanya. Apakah aku justru mengambil alih ruang yang sebaiknya terbagi menjadi dua?

Baiklah, ini pembenaranku. Bukankah dia merasakan aku yang lebih jujur? Aku sebagaimana aku. Dan, aku sudah dan akan semauku merasainya. 

Tunggu sebentar. Apakah itu justru menyebabkan aku menghilangkannya? Dia pun bisa jadi merasa kehilangan ruang untuk segala upayanya dan akhirnya tidak menemukan titik-titik yang mungkin dia cari atau sekadar dia nikmati. 

Setidaknya, aku lebih yakin dengan apa yang aku rasakan. Walaupun aku dianggap kurang waras atau sekadar kurang realistis, aku rasa keadaan ini sudah layak dan sepantasnya demikian. Jikapun ini akan berakhir dengan tidak baik-baik saja, aku bersedia karenanya. Sudah begitu ramai yang aku rasakan dan sudah sedemikian berkembang aku karena keadaan ini.

Maka, di sinilah aku. Berserah diri dengan penuh kesadaran. Memintamu untuk siap menimangku kembali jika aku tak sekuat dugaanku. Bukan untuk menjadikanku kuat, aku hanya butuh tenangmu dan kebesaran hatimu untuk kau ajarkan."

Selepas celotehnya, ia begitu lelah dengan segala yang belum terungkap. Tertidur pulas di bahu ayahnya di sampingku. Paginya, aku mengusapnya pelan untuk membangunkannya, "Nak, bangun, Nak. Sudah ada matahari yang seberani kamu untuk selalu hadir dalam keadaan apa pun. Pulanglah, Nak. Rasamu begitu besar kepadanya. Tak ada yang pantas menyia-nyiakan rasa itu. Restu Ibu kepadamu dan kepadanya."

Komentar

Posting Komentar