Postingan

dekapdalam

Malam ini, ya, malam ini saja. Aku hanya berharap tersedia waktu bagiku tanpa diminta, tanpa keharusan, tanpa segala penangkal aura penenang. Terlalu lelah kantung mata ini menahan beratnya tetesan air mata. Raga ini pun ingin kubiarkan melayang tanpa ada yang empunya. Biarkan saja raga ini terkulai lemas di atas rumput. Otak ini pun sudah keterlaluan. Biarkan aku melakukan apa saja yang kuinginkan malam ini. Malam ini saja. Aku ingin mati untuk bisa bernapas kembali. Boleh minta diam? Kemudian, aku akan bersender sesebentar mungkin. Membagi segala peluh dan berat yang hampir tak ada artinya bagi sesiapa. Jerih rindu ini sudah menjadi piluh. Rasanya, ini sudah bukan pada taraf mau lagi. Aku butuh. Ya, dengan lantang aku katakan aku butuh. Didekap dalam diam untuk menghentikan segala perputaran hidup yang begitu tiba-tiba dan cepat. Dekap yang dalam. Diam yang pekat. Berikan napas lagi untukku. Semua belum bisa berhenti di sini. Tidak bisa.

lusuh

Kemudian, di sinilah perempuan itu meringkuk dalam bisu. Segala yang dirasainya begitu lugu. Seperti batu yang terlalu rindu pada tetesan air yang lama-lama akan membuatnya terkikis. Namun, justru itu adalah hal yang paling ditakutinya sekaligus diderita bahagia.

kelam

Ada yang salah. Ya, aku yakin ini ada yang kurang benar, walaupun seolah-olah semua begitu tepat. Rasanya, biar kuhukum diri ini sendiri. Menampar wajah sendiri untuk sadar tentang segala yang ada dan berlalu. Apa semua terlalu sibuk dengan tiap hidupnya? Hingga terlalu lupa, bahkan enggan, untuk menoleh. Atau, tidak menutup kemungkinan, aku saja yang atas dasar dan keinginanku kurang mengawasi sebelah dan seberang. Kembali saja ke kelam. Nikmat kesendirian yang memudar biar didera lagi. Tak perlulah untuk menuntut kebahagiaan dengan tolak ukur diri ini. Mereka hanya menilai dari kacamata mereka sendiri yang bila dilepas akan samar penglihatannya. Pada saatnya nanti, tak lama lagi, akan kuhabiskan kata dan diam dengan orang yang lama tak hadir. Mengharapkan segala penilaian lebih netral dan berlaku seadanya saja. Ah, ini apa di mana? Kapan ke mana? Dalam temaramnya, kucari tiap cerah melalui gelap. Sekian.

bangku lelah

Jangan tergesa-gesa. Tak ada satuan waktu tang menunggu dan mengejar. Lakukan sygala pahammu, walaupun dengan segala keraguan dan ketakutan yang menghantui optimismemu. Kau pun akan menjadi seorang manusia yang diakui. Bawa pulag segala suntuk dan lelah yang diakibatkannya. Jangan didera, mari diajak duduk dan dicerai-berai menjadi satuan yang paling lusuh. Segala itu pun pasti tersingkir. Kalah perang dengan segala paham aku dan kamu. Jika masih tersisa, berikan padaku. Biar kudekap erat dan kupangku dengan manja. Kemudian, aku dan kamu bersender dalam rangkulan bangku tua di beranda. Menjelma paham yang bisa memaklumi dengan sadar hingga tertidur pulas. Paginya, badan aku dan kamu akan sakit benar gegara ulah bangku itu. Namun, segala jiwa dan hati siap bertengkar dengan dunia untuk kemudian pulang dan mengulang kisah yang sama.

tak suka baca

Aku tak lagi suka membaca. Dulu, bisa saja kuhabiskan berjam-jam dengan membaca ribuan morfem dalam satu buku tanpa gangguan konsentrasi. Lama-lama, angkuhku mungkin muncul. Baru saja kubaca beberapa halaman, aku malah ingin menyaingi penulis yang pasti jauh lebih bagus dan berpengalaman. Kurangkai segala morfem yang muncul dalam pikiranku. Bahkan, tanpa ide awal. Tak kubuat kerangka pikiran yang menjadi patokan penulis-penulis. Bagus atau tidak hasil tulisan itu nanti saja, aku hanya ingin menumpahkan pikiran yang ada. Malam ini, aku tiba-tiba teringat seorang teman lamaku. Aku tahu betul kebiasaannya. Bangun tengah malam, membakar sebatang atau beberapa batang rokok dan menonton film. Filmnya pun selalu ia beli yang bajakan, kecuali film-film local. Menurutnya, hasil kreativitas, pemikiran, dan usaha orang lokal harus didukung. Pembelian film atau bahkan musik lokal adalah pencerobohan katanya dengan tegas. Bagusnya, ia termasuk konsisten dengan ucapannya mengenai ini. Selain menonto...

meranggas

jiwa ini meranggas ketika musim itu tiba musim yang mendampingi kelahiranku tak mengenal kemarau dan hujan musim pemodal besar idealisme berserakan di mana-mana ditinggalkan empunya yang merasa kalah merasa sia-sia dan ada di album kehidupan pun cukup identitas ibu pertiwi dipertanyakan kembali jiwa ini pun tak utuh jika masih ada pertanyaan itu pssst, satu lagi daun jiwaku lepas dan, identitas itu ikut terlekat menemani dalam album tadi

satu, dua, tiga

Semua begitu berbeda. Seolah-olah berjalan menjauhiku. Aku pun memilih untuk diam. Sekadar ingin melihat tanggapan dari yang lain. Ingin dianggap, sesungguhnya. Tetapi, mereka malah berjalan berhamburan. Atau, aku saja yang malah bersembunyi? Satu, dua, tiga. Mungkin, memang tempatku di taman belakang dengan secangkir kopi. Sayang sekali, alam bilang, dua perlu disesuaikan, sementara lebih daru dua terlalu banyak. Aku bilang, satu pun harus berpuas diri. (rindu kalian yang tak pernah mencari)

sigap

Asal kamu tahu saja, rindu ini mengganggu benar. Segala cara untuk mencari perhatianmu justru malah melelahkanmu. Aku pun lelah mengaduk-aduk cara lainnya. Rindu ini justru menjauhkan kita, seperti yang sudah-sudah. Coba kita tak pernah merindu. Kita pun mungkin sudah terbuai pada tingkat paling mesra. Dan, setelahnya, dengan sigap, bosan melanda.

sebagian saja, tak usah seutuh

Mungkin ia memang lelaki yang hampir selalu mendampingi tiap kisahku. Tapi, jangan pernah lupa, kami tidak saling memiliki. Memang benar, ada beberapa bagian dariku yang selalu tertinggal bersamanya. Tapi, tetap saja, dia bukan milikku. Bahkan, kami tak saling berkeinginan memiliki. Aku bukanlah hidupnya yang harus selalu menjadi nomor satu. Bukan pula satu-satunya seperti tuntutan mereka pada umumnya. Biarkan saja, pikirku. Aku akan menghargai dia seutuhnya dengan menjadi bagian dalam hidupnya. Ya, sebagian saja, tak usah seutuh. Kami tak perlu menjadi kita. Aku dan dia saja yang mewakili. Dua individu yang mempunyai kebebasan tanpa harus menjadi kesatuan. Mereka bilang, aku dan dia harus satu kata, satu pendapat, satu tujuann. Namun, masing-masing percaya setiap individu bebas merasa, berpikir, dan berada di antaranya. Aku dan dia tetap dua tanpa keharusan. Menjelma menjadi ras ayang ikhlas, jauh dari untung-rugi, bahkan sistem barter sekali pun. Jadi, jika kamu merindunya, panggil s...

pesan

Berkali-kali pesan yang sama diketiknya. Selanjutnya, ia diam saja menunggu balasan. Bukan pekat malam yang didambanya seharian ini. Sibuk ia mencari gemerlap lampu kota di sisa malam itu untuk menyibukkan pikirannya. Namun, pesan itu masih saja tak berbalas. Dan, ia tidak pernah lelah menantinya. Esoknya, terik menjadi saksi pertumpahan air mata. Seorang lainnya diam saja duduk di hadapannya. Tak bergerak mendekat. Tak mengusap lembut mencoba menenangkan. Jingganya matahari menjadi saksi selanjutnya. Masih saja, pesan semalam tak dibahas sama sekali. Tahunan tak menjadi jaminan. Air mata itu seperti sia-sia, tak berarti apa-apa. Padahal, ini sudah tahun kesekian. Tak terseka pula. Seorang lainnya sudah bosan berada di situasi yang tidak dimengerti sekaligus dengan mudah dipahami karena ini adalah kali kesekian. Subuh itu ia terbangun. Segala pesan ia bongkar untuk menghapus seorang tadi. Ditulis lagi pesan yang sama dan tak pernah terkirim. juni 2009