Kepada Samudra, Kamu ada tanpa hadir. Hadirmu terasa betul semakin mendekap tanpa erat. Segala petanda juga dihadirkan dengan membebaskan makna. Ya, makna sudah tidak terikat lagi, menjadi bentukan masing-masing. Malam lalu, kita banyak berbincang. Ikatan justru membebaskan layaknya peraturan yang malah melindungi, bukan merantai kaki. Setelah terpingkal-pingkal akibat ulahmu, aku mengingat harummu melalui tanah yang basah, dingin yang berkecamuk, dan juga teduh yang bergelayut. Kepekaan manusia kota kerap terlibas oleh detak mesin; menepiskan keyakinan dan—sayangnya—menebalkan kecurigaan. Katamu, semua berawal dari yakin. Keyakinanlah yang mengantarkan kita pada kepekaan; sensitivitas yang terjaga. Malam sebelumnya, kamu membiarkan aku menikmati derai tawa dari kedua orang tua itu. Di dalam rumahnya, mereka memadu kasih dengan mengajak siapa pun tanpa ragu. Tidak ada wacana yang menggelantung, semua langsung dilakukan tanpa menunggu. Ya, kasih sayang tak pernah...