Pejalan Kaki


Trotoar kota itu begitu apik. Rapi terjalin tanpa ada kerusakan berarti. Kami sebagai pecinta jalan kaki merasa begitu dihormati. Lampu kota pun menerangi tanpa menyilaukan. Redup; seakan berusaha menenteramkan hati yang padahal sudah teduh. Bayang-bayang kaki kami terlihat jelas. Terus berjalan tanpa mau kalah oleh dinginnya malam.

Sudah seharian kami berada di luar ruangan. Tanpa henti mengisi setiap kekosongan dengan pembicaraan serius yang berbalur santai sehingga membekas. Inilah pembicaraan yang merindukan dan pasti terindukan. Hampir tak mau kalah oleh waktu agar terus bisa terus berbicara dan mendengarkan dalam satu saat yang bersamaan.

Saya mau pecah kebahagiaan. Ini terlalu bertubi-tubi. Saya tak mau pecah. Belum waktunya. Ini perlu dibagi untuk meredakan segala antusiasme yang melonjak-lonjak tanpa pernah turun selama beberapa hari terakhir.

Saya kirim pesan kepada mereka yang masih berbicara dalam satu frekuensi yang sama. Begitu sama. “Saya sedang berada di luar kota dan bertemu dengan pencari-pencari. Kata-kata yang digunakan sama dengan kita. Saya merasa pulang. Berbicara antarjiwa, mengambang.” Mereka menerima energi dengan baik. Saya tidak sanggup menampung ini sendirian dalam waktu yang begitu intens. Bahagia ini begitu bertubi-tubi.

Setiap lubang terasa diisi sedikit demi sedikit tanpa penuh.

Kami berjalan kaki di antara pendaran lampu kota yang menguning. Jalanan basah oleh hujan rintik-rintik sebelumnya. Pendengaran kami dimanjakan oleh kesunyian. Langkah kami terdengar jelas. Trotoar kota itu masih saja begitu apik. Rapi terjalin tanpa ada kerusakan berarti. Kami sebagai pecinta jalan kaki merasa dihormati.

Komentar