Postingan

Surat untuk Bapak

Bapak, Bapak ingat sewaktu sering mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi? Karena keculunan, saya sempat setengah memohon untuk Bapak turun dan bilang keterlambatan saya kepada guru, tapi Bapak menolak. Bapak bilang, “Kalau saya terlambat, saya juga harus menanggung risikonya.” Waktu itu juga pernah, saya masih duduk bermalas-malasan di kursi, padahal saya sudah bilang akan pergi kencan. Bapak bilang, “Ayo, siap-siap. Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” Sekarang, saya selalu bolak-balik lihat jam kalau terlambat, kaki pun ikut goyang-goyang. Oh, apakah ini awal mula saya kerap menunggu pun saya sudah lama tidak kencan? Bapak ingat sewaktu sering menjemput saya latihan basket yang hampir setiap hari? Bapak selalu masuk pada awalnya dan melihat saya disuruh berlari-larian tanpa henti. Akhirnya, Bapak kerap memilih untuk ada di depan saja. Kemudian, bapak menunggu sendiri sampai saya selesai membasuh dan sedikit bercanda dengan teman-teman. Bapak duduk sembari...

Sabatikal

Rindu bukan main. Seorang teman bilang, "Rindu tak mesti diadu." Terbaring lunglai tanpa kedatangan yang tergopoh-gopoh. Ia mendekam di dalam sekam. Tak perlu dipastikan, apalagi ditemukan. Rindu itu seperti panggilan dari belakang, kataku. Membuat yang dipanggil tersenyum-senyum tanpa menolehkan kepalanya. Terus berjalan.  Kata ayahku beda lagi. Rindu adalah pertanda dari ketergila-gilaan. Dan, itu menggairahkan. Bersamalah dengan orang yang menggairahkan, begitu pesannya. Tapi, Ayah, rindu ini bukan untuk kebersamaan. Ini semata perayaan akan kesemuan. Benar, kan? Rindu tak perlu diadu. Temanku menolehkan kepalanya menghadapku. Nantinya malah bisa ada menang atau kalah. Sementara, rindu hanya memunculkan apa yang tidak pernah ada. Mengadunya hanya membuatnya semakin tidak ada. Benar. Aku jawab tegas, rindu memang hanya sementara. Sisanya juga. Berarti, rindu tak serta-merta penantian. Dengan senyumnya yang aduhai, ia bilang, rindu hanya untuk yang diam-di...

Trims, Tukang Pos

Dua bulan lalu, kakak saya memberikan pandangan yang sering saya dapatkan ketika saya sedang menulis surat. Dahi sedikit berkerut, menatap tajam agak lama, lalu tak acuh melanjutkan kegiatannya, entah berjalan, mengambil minum, atau memakai jaket. Pandangan itu sudah lama saya dapatkan, pun belakangan itu, sudah tidak ada pertanyaan lagi di ujungnya. Itu saya kira akan menjadi pandangan terakhir yang saya terima. Saya sudah  memutuskan untuk berhenti menulis surat. Hitungan tahunan, saya kerap menulis surat. Tujuannya sama. Isinya berbeda. Kalau isinya sama, maka sayalah yang pantas untuk dikirimi surat; surat rekomendasi dengan tujuan Rumah Istirahat Pemalas. Ah, kenapa itu tidak saya lakukan sedari dulu? Saya suka pemalas! Apalagi, menjadi malas itu sendiri. Beberapa bulan sebelumnya, kakak saya mengajukan pertanyaan, “Untuk apa menulis surat yang tak pernah mendapat balasan?” Saya menoleh untuk melihat wajahnya, “Kata siapa ini semua tidak pernah dibalas?” Di...

Katanya, Sesat Pikir

Saya merasa dihajar berkali-kali dari berbagai arah. Babak belur. Ini bukan bicara soal keadaan fisik, lebih pada apa yang sudah dipupuk untuk menumbuhkan arti. Arti memang diciptakan masing-masing, tapi pertanyaan selanjutnya: untuk apa. Kepercayaan saya digerogoti terus-menerus. Tidak diberi waktu untuk membalutnya, pun membiarkan lapisan-lapisan terluar memperbaiki dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan menggerayangi saya. Mengganggu setiap rongga dalam pikiran. Tanpa kenal tempat, tidak juga dipikirkan waktu untuk hadir. Terus-menerus, tanpa berhenti, dan saya semakin merasa digerogoti seperti yang dilakukan rayap: membuat rapuh perlahan-lahan. Dan, hari ini, pertahanan saya tidak cukup kuat. Saya lunglai. Hampir menyerah pada sesuatu yang saya pertahankan. Maknanya menipis. Sudah cukup juga menyumpahserapahkan apa yang ada di luar saya. Toh, setelahnya, bisa apa? Saya tidak mempermasalahkan kebabakbeluran ini. Jika itu memang harus terjadi, setidaknya ini p...

Lorong Sua

Anakkecil lari-lari kecil menghampiri Wajahnya sumringah minta didekap Lelaki ini akhirnya merasa begitu diingini Setelah lama jiwanya padam tersekap Dipeluk dengan erat-erat Tak lama, hanya beberapa detik Anakkecil melepas dan lari ke barat Mata yang ditinggal diam merintik

Pemandangan Kota Begitu Magis

Ada sesuatu yang magis dalam pembicaraan di mobil. Orang kerap menunjukkan dirinya dalam jeda pembicaraan. Berbicara—yang awalnya dimaksudkan—asal untuk mengisi kekosongan justru menjadi penukik bagi dirinya sendiri. Kami kerap bicara tentang kerusakan sistem dengan carut-marut. Menuding orang-orang yang hidup tanpa mencari arti. Pun saya tidak setuju, arti ada dalam masing-masing. Macam seni, bagi saya yang tidak paham sama sekali, begitu personal. Dan, ketika menyentuh kehidupan pribadi, tidak ada salah maupun benar; hanya ada antara. Kemudian, kami juga bicara bagaimana semua begitu saling berkesinambungan. Satu bidang akan bersentuhan dengan bidang lain hingga membentuk satu jaring rumit yang saling berkelindan. Menjalani kehidupan dengan menuai arti bagi kami masing-masing. Dan, di ujung pembicaraan itu, kami diam-diam sepakat bahwa ada arti dalam keseharian kami. Apa yang dilakukannya begitu penting dan saya juga mendapat pengakuan keseharian saya begitu penti...