Postingan

Tukang Kampanye

Dokter gigi adalah tukang kampanye strategis. Pemilihan kata tukang tentu saja semata menggunakan rasa bahasa. Ini pilihan dengan penuh kesadaran. Alih-alih menggunakan kata juru, kata tukang lebih sesuai dengan konteks untuk cerita ini. Dalam KBBI, juru diartikan sebagai ‘orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan, kecakapan, dan kecermatan (keterampilan).’ Padahal, dokter gigi dalam urusan kampanye hanya berurusan dengan hal yang biasa dilakukan dan itu lebih tepat menggunakan kata tukang ; sesuai dengan definisinya.* Jarum suntik anestesi di depan mata. Semakin dekat terlihat lebih besar. Ilusi optik. Artinya, semakin besar terlihatnya juga semakin besar rasa takut yang diakibatkannya. Masker terpasang untuk menutupi mulut sang pemegang suntikan. Itu bukan berarti omongannya tidak jelas terdengar, pun begitulah harapannya.   Ada jeda untuk menunggu anestesi itu berhasil hingga sebagian mulut kebal tanpa rasa. Untuk mengisinya, ia ber...

Jarak

Bagaimana saya mengucapkan selamat tinggal kepada Anda? Tanpa ini semua, saya dan Anda pun sudah berjarak. Ada rongga terselubung yang kita bungkam terus menganga. Ada rekat melekat yang kita bungkus dengan sengaja. Saya sudah mempersiapkannya dengan sematang mungkin. Memanggil Anda pada tengah malam untuk menghabiskan kali malam bersama. Kemudian, kita akan bicara tentang patung-patung yang mengangkasa. Juga tentang papan-papan yang merenggut jarak pandang kita. Beradu tentang sesat pikir yang karut-marut dan kemudian terjerembab di dalamnya. Termasuk tata cara menjadi orang asing di tengah keakraban yang sudah terlerai. Pun, ketika membicarakannya, kita terlupa: tiap malam adalah akhir. Saya dan Anda terlepas dari seberapa layak untuk mengakhiri ini. Dan, sama-sama sadar betul bahwa tak pernah kenal dengan awal. Akhir tak selalu disertai awal. Tapi, malam akhir nanti, saya dan Anda sudah berjarak. Jauh sekaligus dekat. Menjauh atau mendekat juga tidak menghila...

Surat untuk Bapak

Bapak, Bapak ingat sewaktu sering mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi? Karena keculunan, saya sempat setengah memohon untuk Bapak turun dan bilang keterlambatan saya kepada guru, tapi Bapak menolak. Bapak bilang, “Kalau saya terlambat, saya juga harus menanggung risikonya.” Waktu itu juga pernah, saya masih duduk bermalas-malasan di kursi, padahal saya sudah bilang akan pergi kencan. Bapak bilang, “Ayo, siap-siap. Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” Sekarang, saya selalu bolak-balik lihat jam kalau terlambat, kaki pun ikut goyang-goyang. Oh, apakah ini awal mula saya kerap menunggu pun saya sudah lama tidak kencan? Bapak ingat sewaktu sering menjemput saya latihan basket yang hampir setiap hari? Bapak selalu masuk pada awalnya dan melihat saya disuruh berlari-larian tanpa henti. Akhirnya, Bapak kerap memilih untuk ada di depan saja. Kemudian, bapak menunggu sendiri sampai saya selesai membasuh dan sedikit bercanda dengan teman-teman. Bapak duduk sembari...

Sabatikal

Rindu bukan main. Seorang teman bilang, "Rindu tak mesti diadu." Terbaring lunglai tanpa kedatangan yang tergopoh-gopoh. Ia mendekam di dalam sekam. Tak perlu dipastikan, apalagi ditemukan. Rindu itu seperti panggilan dari belakang, kataku. Membuat yang dipanggil tersenyum-senyum tanpa menolehkan kepalanya. Terus berjalan.  Kata ayahku beda lagi. Rindu adalah pertanda dari ketergila-gilaan. Dan, itu menggairahkan. Bersamalah dengan orang yang menggairahkan, begitu pesannya. Tapi, Ayah, rindu ini bukan untuk kebersamaan. Ini semata perayaan akan kesemuan. Benar, kan? Rindu tak perlu diadu. Temanku menolehkan kepalanya menghadapku. Nantinya malah bisa ada menang atau kalah. Sementara, rindu hanya memunculkan apa yang tidak pernah ada. Mengadunya hanya membuatnya semakin tidak ada. Benar. Aku jawab tegas, rindu memang hanya sementara. Sisanya juga. Berarti, rindu tak serta-merta penantian. Dengan senyumnya yang aduhai, ia bilang, rindu hanya untuk yang diam-di...

Trims, Tukang Pos

Dua bulan lalu, kakak saya memberikan pandangan yang sering saya dapatkan ketika saya sedang menulis surat. Dahi sedikit berkerut, menatap tajam agak lama, lalu tak acuh melanjutkan kegiatannya, entah berjalan, mengambil minum, atau memakai jaket. Pandangan itu sudah lama saya dapatkan, pun belakangan itu, sudah tidak ada pertanyaan lagi di ujungnya. Itu saya kira akan menjadi pandangan terakhir yang saya terima. Saya sudah  memutuskan untuk berhenti menulis surat. Hitungan tahunan, saya kerap menulis surat. Tujuannya sama. Isinya berbeda. Kalau isinya sama, maka sayalah yang pantas untuk dikirimi surat; surat rekomendasi dengan tujuan Rumah Istirahat Pemalas. Ah, kenapa itu tidak saya lakukan sedari dulu? Saya suka pemalas! Apalagi, menjadi malas itu sendiri. Beberapa bulan sebelumnya, kakak saya mengajukan pertanyaan, “Untuk apa menulis surat yang tak pernah mendapat balasan?” Saya menoleh untuk melihat wajahnya, “Kata siapa ini semua tidak pernah dibalas?” Di...