Postingan

Dari Den Haag, Untuk Jakarta

Gambar
Senja kemerah-merahan dari Dorus (pukul 20.22 CEST) Saya mengutuk jarak sesiangan. Apakah jarak memang menimbulkan kerak? Jarak membuat rasa ketakberdayaan, kekalahan yang semestinya tidak terjadi, pun belum tentu demikian. Ada kekuatan untuk merasa melakukan lebih banyak hal yang membumbung ketika mengakrabi jarak. Ingat, hanya merasa, belum tentu demikian. Saya menanyakan diri saya sendiri. Apa yang bisa dilakukan dengan jarak yang tak bersekat? Sayangnya, saya tidak bisa memberi jawaban lebih. Sama saja, tidak banyak yang sanggup saya lakukan. Jadi, saya menarik rutukan saya terhadap jarak. Mungkin, saya memang bukan jagoan hiburan. Saya tidak punya kepandaian dalam meredam duka nestapa orang lain, jua diri sendiri tentu saja. Tapi, biarlah luka saya dibicarakan nanti-nanti saja, kalau ada waktu yang berlebihan. Satu kalimat yang saya keluarkan hanyalah, “Kesenangan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Berdamailah dengan itu.” Kira-kira, itu adalah kalimat andalan. Tapi...

Lunar

Saya bertanya-tanya, apakah hubungan kita memang dipengaruhi jarak? Di sini maupun di sana, kamu tampak sama anggunnya Pembicaraan kita pun tentang itu-itu saja Di Noordeinde, ada keputusasaan yang saya bagi Kamu menenangkannya, “segalanya ada waktunya, hadirku pun ada waktunya” Saya melawan malam itu, “tapi, hadirmu juga pasti” “hadir semuanya juga pasti, pun kamu tidak percaya,” tegasmu dengan lembut

Rumah Dua Tingkat

Semenjak saya datang di Jakarta, saya selalu menanyakan kesempatan untuk bertemu dengannya. Pun kami sama-sama sedang dalam keterburu-buruan tanpa jeda, tapi saya akan melakukan usaha lebih untuk berada di depannya. Mungkin, saya berani bilang bagaimana pun caranya. Saya tahu risiko yang terpapar, juga sekalian ketenangan yang akan didapat. Namun, bagi dia, rasanya banyak hal jauh lebih penting. Banyak kepentingan berdesakan tanpa mempertimbangkan keterbatasan waktu yang kami punya. Juga, tentu saja, kemungkinan-kemungkinan lain. Kamis malam, saya sedang bergegas mengarah ke Menteng. Keluar pintu rumah, saya mendapat pesan singkat dari dia. “Aha, malam ini kosong dadakan. Hanya malam ini. Bagaimana?” Pun dia memberikan pertanyaan di ujung, rasanya itu demokrasi asal-asalan karena tidak ada pilihan lain juga yang bisa diberikan. Ini juga tanpa usaha berlebih dari dia untuk memang menyediakan waktunya buat saya. Tentu saja, dengan segala rasa bersalah, saya izin undur diri dari rapa...

Jakarta - Juanda

Selamat siang, Jakarta. Ini kota bukan soal Soekarno-Hatta belaka. Saya enggan berbagi senyum di bandar udara, terlalu nestapa. Itu mengingatkan kita bahwa pertemuan kait-mengait dengan perpisahan. Kita sama-sama suka berada di antaranya; setelah pertemuan dan sebelum perpisahan. Tapi, kenapa kita begitu takut akan perpisahan? Saya teringat bapak teman saya pernah bilang, “Dia yang pergi dan kembali memang bermakna untuk saling-menyaling”. Pun, kita juga sama pengalaman bahwa itu tidak selalu demikian. Karena kembali bukan untuk satu seorang. Lupakan bahwa kita adalah orang yang tergila-gila pada satu. Ceritakan kembali tentang cara bertahan hidup bertahun-tahun hanya dengan seratus ribu di kantung. Jangan lupakan kegagalan untuk menjadi ahli tata kota yang beralih ke dunia kata yang tak kalah suram semata. Boleh juga beri saya canda tentang cerita kolektif di warung kecil yang membuatmu merasa gagal melakukan bunuh diri kelas. Atau, kisahkan kembali ketika kepercayaan ditelantark...

Mas, aku kangen

"Mas, ini rasanya seperti mimpi." "Ini memang mimpi kamu." Itu adalah percakapan terakhir nyaris setahun lalu ketika kami sedang akrab-akrabnya. Waktu memang menelan banyak keakraban. Atas nama bertahan hidup, saya mengasingkan diri. Dia sibuk dengan urusan rumah tangganya. Juga keluarganya. Satu hari, ketika saya tidak tahan betul dengan kehidupan, nama dia adalah satu-satunya yang ada di kepala untuk dikirimi surat. "Mas, saya mau bunuh diri. Mimpi saya berujung mimpi buruk. Saya ingin segera bangun. Tapi, saya tahu bahwa yang saya jalankan adalah mimpi buruk, tanpa bisa pernah bangun. Saya mau tidur saja. Selamanya." Saya tidak mendapat balasan kilat. Saya buka facebook, saya lihat orang-orang ambil foto dia yang sedang tertawa-tawa di tengah keramaian. Saya buka instagram, saya lihat dia sedang berjalan-jalan dengan motornya sambil memburai tawanya. Saya buka path, saya melihat dia dengan keluarganya yang begitu intim. Saya kirim surat lagi. ...

“Why do you want to take education in the country that colonized you?”*

Gambar
Even worse—if you want to say , “Why do you want to take a scholarship from a government that has been colonizing you for three and half centuries?”  It was not once or twice that I got questioned with these questions, since  knowing that I would spend—at least—16 months in The Hague.  I have never been sure how to answer those questions. And I haven’t answered the questions yet. The thing that I know is that: studying abroad has been a dream since seven years ago. They have told me, “go far away for a while”; “see the world from different perspectives”; “you will get more ‘truth’ than you have imagined”; “learn from as many people as you can”; “be away from everything and get lost to find your own way.” It is easy to find these quotes in go-travel-and-be-hippy discussions lately. The quality of life through such travelling is commercialized. People tend to crave the meaning of life easily and buy the discourse. I should admit that I was one of those to buy it, maybe I...

(g)ojek: angkat gelasmu

Saya sudah tidak berada di Jakarta selama hampir 10 bulan setelah hampir 30 tahun menghabiskan waktu di kota itu, mungkin Jakarta mengalami perubahan besar-besaran. Ketika saya meninggalkan Jakarta—dan berjanji untuk kembali, kemacetan membuang banyak waktu,menghabiskan energi, juga meningkatkan rasa frustasi. Pun, saya pribadi kadang menikmati kemacetan itu sendiri. Untuk menyiasati keadaan itu, saya kadang memilih ojek untuk menjadi salah satu andalan saya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di sela-sela kemacetan, saya dan supir ojek yang nyaris selalu berganti-ganti sering bertukar cerita. “Saya punya loker sendiri di masjid untuk nyimpen sepatu ama baju bola, Neng. Istri saya nggak ngebolehin saya main bola. Nggak ada duitnya, katanya,” salah satu ceritanya. Beberapa hari lalu, saya membaca cerita teman saya yang ditanya supir ojek langganannya, “Neng, nggak ke kantor? Sakit? Mau bubur?” Saya sempat bertanya kepada salah satu sahabat saya, “Jadi, siapa sedikit na...