Postingan

Bagai geluk tinggal di air.

Bagai geluk tinggal di air. Setiap hari, kerjanya hanya menunggu. Menunggu bantuan orang lain. Tepatnya, menunggu diselamatkan orang lain. Tanpa teriakan. Tanpa aduhan. Tanpa aba-aba minta pertolongan. Kami curiga, ia bahkan tidak sadar bahwa ia terus-menerus menunggu. Katanya, kalau ditanya ulang, "Saya tidak butuh pertolongan, apalagi kasihan." Mukanya datar. Suaranya juga. Seakan itu bukan hal besar. Sedatar memberi tahu tadi pagi dia minum air putih, kegiatan yang selalu dilakukannya. Kami tidak melihat tanda-tanda ia melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaannya. Marah pun tidak, apalagi dendam. Kami pernah tanya lagi, apa harapannya. Sebenarnya, kami tanya ini hanya ingin tahu saja apa yang ia inginkan. Ia hanya tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya. "Tidak tahu. Kalau saya jawab tidak ada, pasti saya diberondong pertanyaan lain. Sudahlah, pertanyaan itu sudah saya tanyakan berulang kali juga, tapi tidak nemu jawabannya," ia menuangkan air putih...

Masih tentang Bundaran HI

“Setiap usaha layak diapresiasi.” Saya pernah bilang demikian dan saya perlu setia dengan omongan sendiri. Maka itu, kali ini, saya ingin mengapresiasi usaha pemerintah—melalui tangan Dinas Pertamanan dan Permakaman DKI—yang dengan cerdasnya menaruh tanaman-tanaman pemanis di seputaran Bundaran HI bagian dalam. Cerdas! Ini adalah usaha kesekian mereka, mulai dari membuat kolam sehingga menjadi licin, menaruh tulisan “awas, bertegangan tinggi”, melarang motor-motor untuk lewat, dan sekarang tibalah saatnya menaruh tanaman-tanaman itu. Saya baru melihatnya malam ini, padahal ternyata ini sudah dimulai sejak Maret 2016—telat 2 bulan. Alasannya mempercantik, begitu kata poskota dan beritajakarta , demi Corporate Social Responsibility (CSR). Sebenarnya, saya masih belum menemukan ini bentuk tanggung jawabnya apa dan bagaimana. Apakah mempercantik sekarang jauh lebih humanis daripada memanusiakan? Apakah mereka sadar berapa banyak orang yang direnggut haknya untuk menikmati Bundaran ...

nyala

Kepada siapa atau apa Percaya harusnya dipapah Kejujuran apa begitu susah Untuk resah tetap merekah Adakah pengakuan pengkhianat? Patutkah dan layakkah dijerat ? Seolah terpisah sebab-akibat Menunggu sayu sampai berkarat Diam ini bukan hanya geram Juga upaya menyapih dendam Luka tidak menghentikan tumbuh Malah bergerak laju menubuh

Lapor, Komandan!

Tugas saya berat. Menerima perintah dari atasan untuk menulis dalam semalam. Yak, benar, semalam. Dan, tentang kehilangan. Yak, benar, kehilangan. “Komandan yang saya hormati, ini bukan perkara hanya tentang waktu, tetapi juga soal tema yang diangkat. Berat. Apalagi mengingat saya bukan penulis.” Saya lebih suka mendapat tugas “selamatkan orang-orang yang termarjinalkan” atau “pergi ke pelosok untuk mengedukasikan penduduk lokal”. Itu terdengar lebih heroik. Bisa menjadi tujuan hidup dan bisa menjadi bahan untuk diceritakan ke orang-orang. Entah apa itu artinya menyelamatkan dan mengedukasikan. Yang penting, seolah-olah berbuat sesuatu. Tapi, buat apa bicara tentang sesuatu yang tidak terjadi? Akhirnya, saya habiskan sepagian hingga sesiangan untuk belajar kilat—kalau memang belajar bisa sekilat itu—bagaimana cara menulis. Salah satu tulisan yang saya baca selintas adalah tulisan Yusi Pareanom. Katanya, ada tiga hal yang bisa membuat sesuatu layak dituliskan: kebaruan, keunikan, d...

Telat

Kerinduan baiknya dipupuk? Atau, ditusuk hingga tanpa bentuk? Mungkin, ditanam dalam-dalam? Agar malam bisa tetap tenteram Kehilangan tak perlu balas Pun selalu muncul itu paras Tapi kata-katanya tertinggal Pelukannya terasa tak janggal Jalanan basah dan kosong Lampu kuning siapa yang bohong? Kapan dan di mana sudah saru Makna dan arti membaru

Belok-belokan

Sebuah catatan sudah saya persiapkan sebelum duduk manis di meja itu. Isinya adalah daftar apa-apa saja yang perlu saya bicarakan dengan dia terkait satu proyek kami. Dia memberi kabar, kemacetan membuatnya terlambat hadir. Saya tak ambil pusing. Setidaknya, hari ini, saya bertemu dia. Saya sudah tidak sabar untuk meluapkan beberapa ide yang saya tahu betul akan menambah deretan daftar tugas yang perlu saya lakukan. “Saya punya pengakuan. Ini pacar saya,” ia menunjukkan layar di ponselnya. Ia bersama seorang perempuan yang saya tidak kenal. Itu adalah kalimat pertamanya ketika duduk semeja dengan saya. Catatan yang sudah saya persiapkan jauh-jauh hari saya tutup dan saya geser dari hadapan. Ini adalah akan menjadi pembicaraan panjang. Mungkin, kami sama-sama sudah mempersiapkan pertemuan itu. Tapi, persiapan kami berbeda. Dia kemudian menceritakan rentetan kisah cintanya sebagai lesbian. Atau biseksual. Dia belum memutuskan. Dalam ceritanya, ia berkali-kali menyebut dirinya se...

Malam Penghargaan

Selamat malam. Yang saya hormati: Ibu dan Bapak Juri, juga Ibu dan Bapak RT serta RW, Bapak dan Ibu di rumah yang saya harap tidak mendengarkan ini, apalagi kakak-kakak saya; yang saya sayangi: teman-teman yang sudah membuang-buang waktu, saya ucapkan selamat malam. Saya tidak mempersiapkan omongan ini. Sama sekali tidak. Jadi, ini saya rada bingung harus bicara apa. Ini semua di luar dugaan. Untuk sesuatu yang terjadi di luar dugaan, tentu saja ini bukanlah yang pertama kali dalam hidup saya. Tapi, tetap saja, selalu ada efek kejut. Selalu terasa seperti yang pertama. Efek kejut itu bisa bermacam-macam. Yang satu ini, tentu saya merasa tidak pantas. Bagi saya, bisa dikatakan cukup seringlah—kalau tidak bisa dibilang banyak—saya mendengar kisah yang lebih tragis daripada cerita-cerita yang terjadi dalam hidup saya. Jadi, sebagai salah satu penerima Penghargaan Pecundang Andal, saya merasa sebenarnya saya kurang sepecundang itu. Pun, memang, memang benar, saya memang pecundan...