Postingan

kepada siapa babu boleh mencinta?

mindik-mindik untuk curi lirik majikan datang tanda kepulangan ajudan lari ke beranda supaya pintu terbuka mobil mewah berlalu, mata hamba masih sayu ibu menyeduh kopi hitam, kesukaan majikan hamba bergegas ke dapur, urung buat kencur ajudan ke belakang, air dijerang hamba taruh jemuran, menyembunyikan pandangan ketangkap mata, hamba berlalu tanpa harta ibu, kepada siapa hamba boleh mencinta? siapa saja, asal setara ibu, siapa sama di dunia? cari sesama babu biar tak malu hujan gerimis, jemuran perlu ditepis angin bawa kutang ke mangga matang hamba rendah, ajudan ambil galah malu menangis, beliau bilang tetap manis kenapa kita jadi babu, ibu? masih banyak cinta, katanya, terus meminta tuhan di mana? masih di penjara? tuhan bukan babu. jadi hamba perlu malu?

Penjaga Rahasia

Penjaga rahasia. Sebutan itulah yang sering saya berikan ketika ditanya apa yang saya lakukan sehari-hari. Kerjanya menjaga rahasia orang demi mengamini keputusan-keputusan—yang seringnya tidak mudah bagi—orang lain. “Saya hanya beri tahu kamu. Saya sendirian. Tolong saya,” begitu mereka kerap menjelaskan duduk perkara atas nama hidup yang diyakini lebih baik, sebut saja keluarga bahagia, rumah tangga sentosa, karier berlanjut—tanpa harus melejit, kehidupan kembali seperti semula. Dan, saya tahu betul setiap orang pantas mendapatkan kehidupan yang layak. Tentu saja, bukan untuk saya, tetapi untuk kehidupan mereka. Persetan dengan hidup saya. Kepedulian, kata saya, adalah sesuatu yang membuat saya bertahan menjalani semuanya dalam diam. Tapi, apakah diam saya merupakan bagian dari kepedulian? Apakah diam saya justru melenakan saya dalam kehidupan yang aman-aman saja? Apakah dengan kepedulian, kemudian semua sudah selesai tanpa ada lagi yang perlu dilerai? Diam justru bisa jadi mela...

tunawisma

meminta pulang agar bisa bersulang jiwa sudah berjurang sampai memberang segala yang besar jauh dari hambar kami didekap gentar, dikuntit ambyar pikiran adalah hantu di gang buntu ragu membatu, takut tak menentu rasa dianggap penyelamat terlambat menjadi sekat yang perlu dijerat diminta menguap hingga terlelap memang alap, apakah layak lenyap? menolak pulang hanya untuk bersulang terus menjerang sebelum habis perang

Bagai geluk tinggal di air.

Bagai geluk tinggal di air. Setiap hari, kerjanya hanya menunggu. Menunggu bantuan orang lain. Tepatnya, menunggu diselamatkan orang lain. Tanpa teriakan. Tanpa aduhan. Tanpa aba-aba minta pertolongan. Kami curiga, ia bahkan tidak sadar bahwa ia terus-menerus menunggu. Katanya, kalau ditanya ulang, "Saya tidak butuh pertolongan, apalagi kasihan." Mukanya datar. Suaranya juga. Seakan itu bukan hal besar. Sedatar memberi tahu tadi pagi dia minum air putih, kegiatan yang selalu dilakukannya. Kami tidak melihat tanda-tanda ia melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaannya. Marah pun tidak, apalagi dendam. Kami pernah tanya lagi, apa harapannya. Sebenarnya, kami tanya ini hanya ingin tahu saja apa yang ia inginkan. Ia hanya tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya. "Tidak tahu. Kalau saya jawab tidak ada, pasti saya diberondong pertanyaan lain. Sudahlah, pertanyaan itu sudah saya tanyakan berulang kali juga, tapi tidak nemu jawabannya," ia menuangkan air putih...

Masih tentang Bundaran HI

“Setiap usaha layak diapresiasi.” Saya pernah bilang demikian dan saya perlu setia dengan omongan sendiri. Maka itu, kali ini, saya ingin mengapresiasi usaha pemerintah—melalui tangan Dinas Pertamanan dan Permakaman DKI—yang dengan cerdasnya menaruh tanaman-tanaman pemanis di seputaran Bundaran HI bagian dalam. Cerdas! Ini adalah usaha kesekian mereka, mulai dari membuat kolam sehingga menjadi licin, menaruh tulisan “awas, bertegangan tinggi”, melarang motor-motor untuk lewat, dan sekarang tibalah saatnya menaruh tanaman-tanaman itu. Saya baru melihatnya malam ini, padahal ternyata ini sudah dimulai sejak Maret 2016—telat 2 bulan. Alasannya mempercantik, begitu kata poskota dan beritajakarta , demi Corporate Social Responsibility (CSR). Sebenarnya, saya masih belum menemukan ini bentuk tanggung jawabnya apa dan bagaimana. Apakah mempercantik sekarang jauh lebih humanis daripada memanusiakan? Apakah mereka sadar berapa banyak orang yang direnggut haknya untuk menikmati Bundaran ...

nyala

Kepada siapa atau apa Percaya harusnya dipapah Kejujuran apa begitu susah Untuk resah tetap merekah Adakah pengakuan pengkhianat? Patutkah dan layakkah dijerat ? Seolah terpisah sebab-akibat Menunggu sayu sampai berkarat Diam ini bukan hanya geram Juga upaya menyapih dendam Luka tidak menghentikan tumbuh Malah bergerak laju menubuh

Lapor, Komandan!

Tugas saya berat. Menerima perintah dari atasan untuk menulis dalam semalam. Yak, benar, semalam. Dan, tentang kehilangan. Yak, benar, kehilangan. “Komandan yang saya hormati, ini bukan perkara hanya tentang waktu, tetapi juga soal tema yang diangkat. Berat. Apalagi mengingat saya bukan penulis.” Saya lebih suka mendapat tugas “selamatkan orang-orang yang termarjinalkan” atau “pergi ke pelosok untuk mengedukasikan penduduk lokal”. Itu terdengar lebih heroik. Bisa menjadi tujuan hidup dan bisa menjadi bahan untuk diceritakan ke orang-orang. Entah apa itu artinya menyelamatkan dan mengedukasikan. Yang penting, seolah-olah berbuat sesuatu. Tapi, buat apa bicara tentang sesuatu yang tidak terjadi? Akhirnya, saya habiskan sepagian hingga sesiangan untuk belajar kilat—kalau memang belajar bisa sekilat itu—bagaimana cara menulis. Salah satu tulisan yang saya baca selintas adalah tulisan Yusi Pareanom. Katanya, ada tiga hal yang bisa membuat sesuatu layak dituliskan: kebaruan, keunikan, d...

Telat

Kerinduan baiknya dipupuk? Atau, ditusuk hingga tanpa bentuk? Mungkin, ditanam dalam-dalam? Agar malam bisa tetap tenteram Kehilangan tak perlu balas Pun selalu muncul itu paras Tapi kata-katanya tertinggal Pelukannya terasa tak janggal Jalanan basah dan kosong Lampu kuning siapa yang bohong? Kapan dan di mana sudah saru Makna dan arti membaru