Postingan

mutualisme

Hari ini seorang teman setengah memaksa minta bertemu pada larut malam. Saya duduk di meja itu sambil memesan kopi. Padahal, sebelumnya, saya sudah berjanji tidak akan meminum kopi lagi karena sudah dua gelas. Namun, jam-jam ini pun harus dilalui bersama kopi. Dengan mata lelah dan badan yang hampir tak bertenaga, saya tunggu dia yang katanya sudah dekat. Sesampainya, temanku itu langsung memesan satu botol bir ukuran kecil. Matanya sembab, tapi justru menunjukkan wataknya yang begitu keras. Keras itu selalu kuartikan sebagai berani, bukan sebagai pemberontak tanpa toleran yang sering kali diinterpretasikan orang. Keras itu kuanggap sebagai kekuatan. Aku sudah memutuskan sejak awal ajakan. Aku hanya bersedia sebagai pendengar. Rasanya, otakku sudah tak sanggup untuk menelaah ceritanya lebih lanjut, apa pun itu. Jadi, kudengarkan saja ia berceloteh. Setelah kurangkum, ternyata dia merasa diperdaya oleh kekasihnya. Dia bilang, tidak terjadi simbiosis mutualisme dalam hubungan mereka. Sal...

mereka benar

Mereka benar. Sudah berkali-kali kusanggah. Bahkan, kurela menepis segala aku dalam diri ini hanya karena tidak rela bahwa mereka benar. Tak segan juga aku bertanya padanya untuk meyakinkan bukan kita yang salah. Tapi, ternyata mereka benar. Bukan karena omongan mereka yang selalu mengganggu keseharian kita. Bukan juga rasa bersalah kita pada rasa sakit hati depan orang-orang. Bukan padamu. Bukan padaku. Salah itu begitu saja menyublim dan tak terekam jejaknya sehingga tidak dapat dikatakan kesalahan. Ini hanyalah sesuatu yang tidak benar, tapi bukan kesalahan. Bukan rasa kita yang pudar, sungguh kita yakin ini besar. Memang, kita tidak tahu ini kurang atau lebih karena perbandingan itu tabu untuk sesuatu yang tidak terukur secara kasat mata. Tapi, ini pun tidak benar. Dan, sekali tidak benar, ketidakbenaran lain pun akan muncul perlahan-lahan. Mereka bilang memori bukan sesuatu yang bisa dipersalahkan. Aku sudah bilang pula, ini bukan sesuatu yang salah, hanya tidak benar. Kuulangi se...

mimpi

Sudah seminggu saya diganggu oleh mimpi yang berlebihan ini. Bahkan, baru saja semalam, saya benar-benar memimpikannya. Ayo, alam, beri saya energi itu!

beasiswanya

"Sayang, aku berangkat, ya. Aku mau ketemu sama Mas Ahmad dan istrinya." "Lho, kok tumben? Ketemu di mana?" "Iya, tadi dia telepon. Belum tahu ketemu di mana. Apa rencana kamu?" "Aku mau pergi sama Bapak-Ibu. Makan malem mungkin." "Bertiga aja? Kakak nggak ikut?" "Kakak masih ada acara di kantornya, mungkin nyusul." Setelah telepon itu ditutup, saya bergegas. Saya tidak sabar untuk menerima surat yang nanti dikasih oleh Mas Ahmad. Mas Ahmad adalah senior saya waktu di kampus. Sekarang, ia bekerja di salah satu lembaga donor internasional. Seminggu yang lalu, saya memberikan abstrak skripsi dan surat motivasi kepada kantor Mas Ahmad. Mereka akan memberikan hibah untuk digunakan sebagai biaya sekolah di negaranya, Australia. Namun, abstrak dan surat motivasi itu bukan punya saya, melainkan punya pacar saya, Ben. Jadi, surat keputusan diterima atau ditolaknya diberikan langsung kepada saya. Sejak pertama kali kenal, Ben mengerahk...
Gambar
Di atas adalah gambar Gala, dewa waktu. Ia selalu ada di atas pintu Angkor Thom, Kamboja. Ada satu hal yang menarik. Sekali makan, ia tidak bisa berhenti. Oleh karena itu, Syiwa memanggilnya untuk menghabiskan makanan. Syiwa mengadakan kontes memasak untuk mencari koki. Jadi, banyak sekali makanan yang tidak bisa dihabiskan. Datanglah Gala—karena diminta Syiwa—untuk menghabiskan semua makanan. Makanan kontes habis, Gala tetap merasa lapar. Akhirnya, Syiwa memberikan semua makanan di istana untuk Gala. Meskipun sudah habis, Gala masih saja lapar. Syiwa sudah tidak punya makanan lagi. Akhirnya, Syiwa meminta Gala untuk memakan tubuhnya sendiri. Gala pun memakan kaki dan badannya. Akhirnya, ada yang mengadu kepada Wisnu. Wisnu membuat Gala berhenti makan. Tersisalah kepala dan tangannya. Syiwa meminta maaf kepada Gala. Atas dasar permohonan maafnya, Syiwa meletakkan Gala di atasnya. Semua harus berjalan di bawah Gala, kecuali Wisnu. Wisnu selalu duduk di atas Gala. Oleh karena itu, simbol...

aku milikmu...

ku berharap abadi dalam hidupku mencintamu bahagia untukku karena kasihku hanya untuk dirimu selamanya kan tetap milikmu Di atas adalah penggalan lirik dari “Ku Ingin Selamanya” ciptaan Ungu. Salah satu teman saya senang sekali ketika seseorang yang ia suka menyayikan lagu ini untuknya. Katanya, ia merasa dicintai oleh orang itu karena liriknya yang ‘aduhai’. Saya coba cari liriknya dan baca ulang, walaupun nadanya lupa-lupa ingat. Kemudian, saya tidak merasa ada sesuatu hal yang bisa membuat saya “meleleh” dari lirik itu. Malahan, lirik itu membuat saya berpikir ulang tentang relasi kebahagiaan dan kepemilikan dalam berhubungan intim. Setelah diperhatikan ulang—sekaligus mengingat-ingat kisah cinta pribadi pada zaman dulu, banyak perempuan maupun laki-laki yang merasa tersanjung ketika ada pernyataan “aku milikmu” atau “kamu milikmu”. Bisa-bisa, pernyataan itu membuat kita jadi mabuk kepayang akan cinta. Padahal, pada saat yang sama, sebenarnya kita secara tidak langsung kehilangan di...

hmmm

Ragam rasa terdalam ingin kukuakkan padamu. Sungguh pun terindu ini tak dapat dielak. Tak sanggup kukatakan dengan terus terang. Aku terlalu takut. Bukan takut berhadapan denganmu dan apa pun reaksimu. Sungguh justru itu yang ingin kuhadapi sekarang. Kemanusiaan yang penuh dengan kewajaran. Bolehkah kita ciptakan satu haru maya yang begitu nyata? satu hari pada hitungan kedelapan dalam satu minggu mungkin. Alismu mungkin terangkat tak percaya. Sudah lelah menanti jamji yang hampir seperti cerita biasa penuh bualan. Aku terlalu sendiri. Tersesat di tengah kegagalan dalam kesuksesan. Terlontar dari kesedihan di pojok kebahagiaan. Masihkah kau duduk di sana? Berdiam dengan harapan yang menipis akan kedatanganku. tetap menepati janji yang dinanti. Aku pastikan. Aku akan datang jika diperbolehkan. 150710 01.13 am

jatuh

bukan perhatian berlebih yang kami inginkan, itu hanya akan membuat kami merasa lemah bukan pula acuh yang kami nanti, itu pun hanya akan membuat kami merasa bukan siapa-siapa jangan tunggu pendengaran dari kami, tak ada yang harus kami sampaikan tak pelu dihitung sisa perjuangan kami, itu membuat kami lelah karena masih terlalu panjang kami hanya mau dirasa agar kami merasa tenteram tak perlu tenang karena biasanya hanya bualan mohon juga jangan nyaman karena kami akan kerasan kami belum sampai semua tidak harus berhenti di sini

juang

Dan di sini pun aku berjuang sendirian. Terlalu banyak yang kuanggap musuh di luar ini semua. Tiba-tiba semua memutuskan hubungan sebagai sahabat dan menyerang perlahan-lahan. Bukan berupa tusukan tajam yang rasanya langsung sakit, tapi hanya lecetan panjang di seluruh tubuhku. Terlalu perih dirasakan bahkan jika persentuhan dengan sehelai kapas pun. Hanya ada aku dan apa yang sedang kuperjuangkan.

angkuh

Ke mana lagi aku harus mengadu ketika semua menanggung pedih yang tak berkesudahan? Ke mana lagi aku harus beringkar ketika semua bahkan tak bertahu? Semua orang begitu merasa dewasa. Menjaga masalah dirinya yang dilipat rapi dan disakukan sehingga tak terlihat. Berlaga ada untuk orang lain dan menyampingkan apa yang bergelut dengan kasar pada otak yang menusuk-nusuknya hingga pusing bermalam-malam. Penjagaan ketat pada apa yang ada di sakunya itu hanyalah sebagai satu bukti nyata. Bukan bukti untuk orang lain, sama sekali tidak, meskipun itu yang selalu dikatakan berulang-ulang. Bukti itu untuk dirinya sendiri agar ia merasa bisa melewati segala sesuatu dengan baik-baik saja. Tanpa perlu orang lain. Tanpa perlu seperti cerita orang lain. Mereka sungguh tidak menginginkan untuk merangkak di tengah jalan raya, maka mereka simpan dalam saku itu. Tak ingin berpatah tulang karena telah dijatuhkan dari apa yang baik-baik saja pada awalnya. Tapi, sayangnya, tidak selamanya ia tergeletak diam...