Postingan

Kurasi Ingatan Cahaya

Sore itu, Bapak Tua duduk di beranda. Rambut putihnya sudah tumbuh berdekatan sejak lama. Bengongnya tidak kosong. Terasa benar pada teduh matanya yang kalem. Beliau menoleh ke belakang ketika menyadari keberadaan saya yang mengamatinya dari belakang. Beliau meminta saya untuk duduk dengan menepuk-nepuk bangku yang ada di sebelahnya. Saya manut. “Bapak Tua tidak kepanasan duduk di sini? Sinar matahari langsung ke tempat duduk kita.” Beliau menggeleng, dia bilang, saat ini, beliau sedang belajar untuk mengakrabi cahaya. Peluhnya menetes. Saya menunduk. “Waktu itu, gelaaaap sekali. Sangat gelap. Jelang beberapa langkah, saya hanya melihat gelap. Hitam. Hitam pekat. Saya memutar tubuh saya (sambil ia praktikkan) untuk lihat sekeliling. Tidak ada. Tidak ada apa-apa yang terlihat. Hanya hitam. Hitam pekat.” Bapak Tua ini pernah hilang, entah berapa lama. Bapak Tua selalu cerita, beliau masuk dalam kegelapan. Kemudian, beliau jarang sekali melanjutkan ceritanya. Ini adalah saat lang...

Orang Tua dan Anak Muda #1

WARUNG KOPI TEGAR RASA Itulah nama yang terpampang di papan depan gubuk sederhana yang aku lalui. Aku berdiri di depannya, melongok untuk memastikan situasi di dalam cukup aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang sendirian. "Masuk sini, Anak Muda. Jangan ragu untuk minum jika kehausan." Suara itu datang dari meja yang agak di dalam, seorang tua berambut putih agak kehitaman sedikit memanggil tanpa menggerakkan bokongnya sedikit pun. Tidak ada sesiapa lagi selain ia dan perempuan penjaga warung. Aku terpanggil, berjalan mengarah kepadanya. "Apa yang mau dilihat, apalagi dirasakan, jika hanya melongok dari luar saja? Duduk sini. Pesan minum sebelum jalan lebih jauh lagi," ia merayu terus. "Mbakyu, boleh pesan satu kopi?" Perempuan yang sedari tadi sedang kipas-kipas dengan tatapan kosong berdiri menghampiriku. "Gulanya habis," jawabnya singkat. "Tanpa gula tidak apa-apa," aku balas. "Kopinya juga habis." Aku menolehkan pandanga...

Kalah Mati di Medan Perang Sendiri

Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Bisikan-bisikan itu. Tanpa aba-aba. Seketika. Dan, lagi. Lagi. Lagi. Belum berhenti. Perempuan itu meringkuk di sofa. Ini adalah kali pertama ia merasa dilecehkan oleh laki-laki itu, teman lamanya. Tindakan tanpa persetujuan. Kejadian yang membuat dirinya merasa terhina. Ia tidak berani masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah pelukan dari belakang dan ciuman tanpa consent . Bencana seakan menanti di sana. “ Cepat pagi. Cepat pagi. Cepat pagi,” ia merapal mantra. Sayang sekali, waktu memang bukan penyembuh yang baik. Seharusnya, ia belajar dari pengalaman. Dan, ia memilih melakukan hal yang sama: diam. *** Avery (1990) menulis, “ We live in in a conspiracy of silence. ” Dan, itu adalah bagian dari petaka yang berkelanjutan. Selain memang bisa menjadi strategi dalam beberapa kasus, diam bisa jadi pembenaran atas hal-hal yang tidak berkenan. Pem...

EITS: Tahu Makna Cukup

Gambar
Ini adalah satu-satunya—sampai saat ini— band favorit yang saya tonton konsernya dan saya tidak berharap ada encore . Cukup. Bahkan, saya memohon dalam hati—yang tiada gunanya itu—jangan sampai ada encore . Mungkin kebetulan, mungkin semesta berbicara, mungkin juga tidak ada hubungannya sama sekali, malam itu, Jumat, 3 Maret 2017, tidak ada lagu tambahan setelah momen dramatis penutup lagu dari Explosion in the Sky. Dada saya sudah tidak muat lagi. “The Only Moment When We Were Alone” menjadi lagu penutup. Lagu yang satu ini memang bukan kepalang. Judulnya sendiri sudah bicara banyak. Rangkaian melodi yang ditawarkan pun bertahap. Tahapannya terasa betul. Kurang lebih, bagi saya, grafiknya begini. Penghujungnya, ketika tempo sedang cepat-cepatnya, rasanya sedang klimaks-klimaksnya, mereka berhenti seketika, bersamaan. Lampu di panggung semua padam. Gelap. Mereka tidak terlihat sama sekali. Ada, tetapi tidak terlihat. Pertunjukan selesai. Mereka tahu apa artinya kata cuk...

Mimpi di Jakarta

--> Jakarta menyimpan segerombolan mimpi yang tersembunyi dalam kekhawatiran—kalau belum sampai ketakutan. Mimpi-mimpi itu seperti tidak pernah ditemukan kembali ketika sedang bermain petak umpet; entah karena penghitungan yang terlalu lama atau pemilihan tempat bersembunyi yang semakin piawai. Mimpi itu menakutkan, seperti merencanakan kekecewaan. Mimpi yang menjadi nyata diceritakan berulang kali tanpa pernah dialami, seperti mitos yang ditawarkan turun-temurun.   Apakah mimpi perlu dikabulkan? Berita yang berceceran menunjukkan bahwa mimpi hanya untuk orang-orang yang bisa memilih, punya kelebihan hingga memunculkan kesempatan. Bagaimana dengan orang-orang yang bukannya tak sanggup bermimpi, tapi tak ada waktu untuk melakukannya? Setiap detiknya dihabiskan untuk berjibaku dengan strategi bertahan hidup: makan apa, tidur di mana, lupakan baju menguning yang tinggal tunggu waktu sobek, apalagi kesendirian yang sudah akut. Beberapa tahun lalu, seseorang yang dib...

Selamat Tinggal di Teras Rumah

Kalau ini sudah pasti terjadi, mengapa kita terus membicarakan ini? Kami bertemu di satu teras rumah. Saya sudah menunggu sedari pagi. Ketika matahari mulai condong ke barat, itulah saat pintu pagar terbuka tanpa aba-aba. Saya hanya bersandar di tembok depan pintu melihat kedatangan dia. Saya tanya, “Bawa apa?” Dia kemudian menjawab, “Bawa calon sampah. Kaleng, plastik, dan karton. Kita belum bisa menolak sampah,” sambil tertawa. Saya tahu, itu adalah tawa ledekan. Dia menaruh dua kaleng minuman, dua camilan asin berbungkus, dan satu camilan manis berkotak di meja teras. Kemudian, kami sama-sama duduk bersebelahan di kursi teras yang memang hanya dua buah. Kami saling menatap dan mengakhirinya dengan tawa. Saya siap memulai pembicaraan, “Jadi, apakah ini bentuk suap?” Dia kemudian mengeluarkan rokok dari kantong jaketnya. “Mungkin. Saya perlu bantuanmu.” Sambil menunggu dia membakar rokoknya, saya menimpali, “Ah, pasti ini kesusahan. Tidak ada…” saya memberhentikan lanjutannya...

Galaksi Kosong

--> Kemudian terbanglah ke galaksi Menempa sunyi yang sepi Dibebat dingin Tanpa hujan angin Redup… redup… biar hilang segala degup Henti… henti… sampai tiada napas dan mati Melangkahlah dari bumi Tak ada lagi yang alami Kerja hanya bungkusan budak Peduli hanya janji yang mengudak Biru ini semakin melebam Menatap harapan menenggelam Meredam pendar sampai mati Menjadikan segala jadi nisbi Rindu dan puisi sama-sama kosong Manusia dan cahaya menggosong

Kapan Pulang?

“Kapan pulang?” Itu adalah salah satu sticker favorit saya dari rangkaian #celahjakarta. Tadinya, itu dibuat atas dasar bayangan saya dengan pertanyaan lanjutan, pulang ke mana? Bukan bermaksud tragis, justru bahan tertawaan. Boro-boro berpikir kapannya, ke mana saja belum tentu tahu. Ada beberapa hal yang jauh terasa lebih menusuk daripada yang tidak terkatakan. Menusuk yang bisa ditertawakan. Senjata makan puan. Pertanyaan itu diberondong oleh beberapa orang ketika saya sedang sakit. Salah satunya, saya mendapatkannya dari ibu saya, “Kamu nggak mau pulang?” Pesan itu berbalas, “ I’m home, Am. Ini sudah di apt.” Bagi sebagian orang, ‘pulang’ tidak pernah diartikan berada di satu ruang yang penuh dengan kesendirian—padahal maknanya tidak sama dengan kesepian. Kemudian, saya sadar, perbedaan makna itu juga bisa menyakiti orang lain. Namun, saya tahu betul, banyak hal yang bisa jauh lebih menyakitkan kalau saya tidak berada dalam ruang yang paling nyaman dalam keadaan sakit. Berada...

Diskon Kesehatan pada Hari Ibu

Gambar
Apakah sudah dimulai perdebatan ritual setiap 22 Desember? Sebagian orang—dengan alasan masing-masing—sibuk merayakan Hari Ibu dan sebagian orang lainnya lebih memilih memperingati hari ini sebagai hari gerakan perempuan—juga dengan alasannya sendiri. Sudah mulai? Sudah mulai atau belum, kita bisa jadi kalah cepat. Ada pihak yang sudah merayakannya terlebih dahulu sejak seminggu lalu; pun pakai atas nama Hari Ibu. Sejak 13 Desember sampai akhir bulan ini, salah satu rumah sakit swasta mempersembahkan penawaran menarik bagi para ibu Indonesia agar tetap sehat dan aktif. Kata-kata itu saya ambil langsung dari brosurnya. Perhatikan kata mempersembahkan yang seakan-akan sudah diatur dan dipikirkan sedemikian rupa. Ada beberapa kata kunci yang akan dibahas lebih lanjut: ibu dan sehat. Sekarang, kita lanjut dulu untuk melihat penawarannya berupa diskon 10% jika mengambil paket hemat. Paket hemat yang dimaksud adalah pap’s smear, mammography, bone densitometry, dan USG payudara. Jika m...