Bapak cuaca? Siapa yang akan datang berkunjung kali ini? Bisa sedikit kau bisikkankah?

Begitu banyak yang bertanya hal yang sama dan lebih banyak lagi yang berharap mendapatkan jawaban yang sesuai dengan inginnya. Aku hanyalah sekadar penyampai pesan saja, tetapi semua lebih banyak menuntut sebagai pengambil keputusan.

Iya, iya. Aku tahu. Itu sudah terjadi sejak rangkaian sejarah dan belum berhenti. Tapi, aku hanya ingin tahu saja, siapa yang datang kali ini?

Apa jawaban yang ingin kau dengar?

Ah, Pak Cuaca. Sudahlah, tak usah dengarkan apa yang aku inginkan. Sudah sekian putar bumi, aku sendiri belum bisa mendengarnya. Atau mungkin begitu banyak ingin yang bicara. Aku sudah lelah menunggu ingin untuk hal-hal yang kecil seperti cuaca.

Hal kecil, katamu? Kalau cuaca hanyalah soal kecil, tak usahlah kau pedulikan, anak muda. Cuaca tak akan berpengaruh pada kehidupanmu.

Justru cuaca sangat menentukan. Ayo, cepat, Pak Cuaca. Sudahlah, jangan bermain-main denganku. Sudah terlalu banyak waktuku yang habis untuk bermain-main.

Apa kau juga ingin bermain-main dengan cuaca, Anak Muda? Sudahlah, lekas angkat kaki dari sini. Masih begitu banyak hal besar yang lebih berpengaruh.

Ah, Bapak Cuaca, susah sekali bicara dengan Anda. Anda selalu tidak mengerti. Atau Anda terlalu mempersulit sesuatu yang sangat mudah. Anda hanya tinggal menjawab siapa yang akan datang berkunjung. Bukankah itu pekerjaan Anda?

Itu bukan pekerjan saya. Itu hanya keahlian saya yang dimanfaatkan dengan bentukan-bentukan seperti kamu.

Ah, apa kata kau saja. Apakah hujan? Ataukah hanya mendung menggulung?

OOOOhhhh… Itukah harapanmu, Anak Muda? Tersiram hujan atau dirundung mendung?

Tidak. Sudah kubilang, harapanku sudah terlalu jauh dan berdiam diri sejak lama. Sudah terlalu banyak yang menggoreskan luka pada harapan saya, Bapak Cuaca. Biarlah. Jadi, siapa yang akan datang berkunjung?

Jadi, kau sudah mulai takut untuk berharap. Anak Muda, kau sedang menapak pada pijakan yang produktif akan harapan. Belum saatnya, melangkah terlalu jauh.

Kenapa masih saja kau selipkan nasihat. Kau tidak tahu apa yang telah aku lalui, Bapak Cuaca. Terlalu banyak yang terlewat dan membuatku bosan mendengar nasihat-nasihat lainnya.

Yah. Memang sekarang kau masih boleh sombong. Biarlah. Jadi, apa yang kau mau tahu?

Sudah berapa kali kubilang, aku hanya mau tahu siapa yang akan datang berkunjung?

Kau hanya memberi kesempatan kepadaku untuk mengungkap bualan lainnya. Padahal sudah kuperingatkan sebelumnya bahwa aku adalah Bapak Cuaca yang pembual. Kau begitu keras kepala, Anak Muda.

Baiklah, Pak Cuaca. Maka berbuallah. Kalau memang itu yang diinginkan kehendakku.

Maka kau tak beda. Bertanya dan sudah mempersiapkan jawabannya walau kau bilang harapan sudah kau ikat kuat. Nyatanya, harapan itu masih hadir saja.
Bagaimana kalau kukatakan yang datang adalah terik yang melekat?

Baiklah, aku akan mencoba menikmatinya.

Mencoba?
Memang siapa yang pasti kau nikmati? Hujan? Mendung? Seperti yang kau sebutkan tadi.

Bukan, tak ada yang bisa dinikmati, Bapak Cuaca. Saya hanya bisa menikmati sendiri. Saya kira ada teman yang cocok dari cuaca. Tapi… Sudahlah, biar saya berceloteh sendirian di kamar. Selamat tinggal.

Hey, Anak Muda, ada yang tertinggal? Tak maukah kau berputar dan mengambilnya? Apa memang sengaja kau tinggalkan?

Mungkin untuk cuaca yang cocok di lain waktu.

17 Januari 2007
22:49
room

Komentar