Mpo Ijah

Mpo Ijah sesenggukan di bawah selimut lusuhnya. Dia berusaha sediam mungkin dalam tangisnya yang begitu dalam. Takut ganggu penghuni rumah lain. Jangan-jangan, tetangga juga bisa dengar. Maklum, pembatas antara rumah Mpo Ijah dengan tetangga tipis sekali. Lampu kamarnya sudah gelap. Ia merasa lebih nyaman menangis dalam kegelapan. Ketika tidak bisa melihat, hati sanggup ngomong banyak, begitu ia pernah bicara ama salah satu pelanggannya.

Mpo Ijah adalah seorang tukan jamu gendong keliling. Punggungnya benar-benar menjadi tulang punggung keluarganya, ada ibu dan adiknya. Seperti semua manusia, Mpo Ijah juga merasa punya masalah yang paling berat di dunia. Lha wong, bukan dia yang mangku bumi, sama saja seperti manusia lain. Masalah saya adalah masalah yang paling berat dan yang tak akan pernah orang lain mengerti, begitu kira-kira penggalan pikiran orang-orang.

Namun, dalam segala kesusahannya, Mpo Ijah punya satu orang yang dapat dijadikan senderan. Senderan untuk bermanja-manjaan, senderan ketika duit sangat amat menipis, senderan ketika datang bulan dan pengen marah-marah, sandaran untuk merasa menjadi orang yang sudah paling mengerti, senderan untuk ngabisin jatah kata-kata, pokoknya segala macam jenis senderan seperti manusia biasa. Mpo Ijah ini orang biasa kok. Sama seperti Mpo Ijah, senderannya juga orang biasa. Namanya Pa Ijo. Dia adalah satpam yang suka diomongin ama pembantu-pembantu yang suka nongkrong di ujung tiap gang. Pa Ijo kerja ama majikan yang rumahnya lumayan besar dan lumayan orang terpandang. Kesejahteraannya terjamin. Jadi, jam kerjanya pun tidak sebanyak satpam lain tapi gajinya sama aja. Beda ama Mpo Ijah. Dia harus banting pulang, berangkat pagi, pulang pagi (kalo pake pacaran dulu) untuk dapat uang.

Pa Ijo suka nemenin Mpo Ijah jualan jamu keliling. Mpo Ijah jalan dan Pa Ijo naik sepeda. Biar kalau ada panggilan mendadak dari bos, bisa langsung pulang cepet, katanya. Mpo Ijah sendiri tidak mau dibonceng di jok belakang sepeda. Malu, nanti jadi bahan omongan orang banyak, jawabnya ketika diajak naik Pa Ijo sambil mesem-mesem. Mpo Ijah memang paling tidak suka jadi bahan omongan orang. Ia ingat pesan ayahnya dulu ketika masih hidup. Dikenal diam-diam dan jadi kenangan banyak orang lebih enak daripada jadi bahan omongan di mana-mana tapi cepet dilupain. Tapi, dengan kerendahhatiannya itu, ia malah marak dibicarakan sana-sini.

Mpo Ijah harus kerja setiap hari. Berangkat abis salat subuh dan pulang abis maghrib. Ia harus mampir dulu ke salah satu rumah besar untuk beres-beres dan nyuci. Sekedar uang tambahan, lumayan, bisa bikin ibu dan adik makan ayam seminggu atau dua minggu sekali. Kalau Mpo Ijah sudah selesai, Pa Ijo tinggal ngantuknya saja. Jadi, Pa Ijo suka jemput jalan kaki dan pulang dalam kediaman sambil menahan lelah dan kantuk. Begitu saja, setiap hari.

Suatu hari, Mpo Ijah dapat uang lebih karena jamunya dipesen ketika ada ronggeng di kampung belakang kompleks. Besoknya, Mpo Ijah ke rumah majikan untuk minta ijin tidak masuk sehari. Mpo Ijah sudah lama tidak melihat tawa Pa Ijo dan cerita serunya mengejar maling. Jadi, dia meluangkan waktunya untuk seharian bersama Pa Ijo. Biar tidak keduluan ngantuk ama lelah, hari ini saya harus menang balapan dengan mereka, tekadnya.

Alhasil, setelah dari rumah majikannya, dia ke rumah majikan Pa Ijo. Berangkatlah ia dengan memakai pakaian terbagus, minyak pengharum yang sudah lama tidak dipakai, dan gincu termerahnya. Sesampainya di rumah majikan Pa Ijo, ternyata Pa Ijo sedang mendapat tugas untuk nganter anjing ke salon. Mungkin orang kaya suka bayar orang untuk jadi satpam anjingnya, pikir Mpo Ijah. Mpo Ijah menunggu Pa Ijo di sela matahari yang kalah terik dengan rindunya. Setelah 3 jam kemudian, Pa Ijo datang dengan membawa seekor anjing yang sangat besar dan mungkin lebih wangi daripada Mpo Ijah sendiri yang sudah mandi keringat. Pa Ijo terkejut sambil tersenyum lebar, lebar sekali. Untung, hari itu tugas Pa Ijo sudah selesai. Ia langsung pulang menggandeng tangan Mpo Ijah.

“Wah, cuacanya bagus sekali, sebagus hati kamu, Jah.” Mpo Ijah mesem-mesem saja digoda Pa Ijo, kekasihnya.

“Hari ini kita mau ke mana?” tanya Paijo

“Ke mana aja, asal ama mas,” jawab Mpo Ijah sambil memberikan senyum termanisnya.

“Kita makan dulu yuk di warung nasi pojok situ? Saya belum makan dari tadi malam,” ajak Pa Ijo.

“Lho, tadi pagi nggak makan di rumah, mas? Jangan suka nggak makan gitu ah, nanti masuk angin kan aku juga yang sedih,” perhatian Mpo Ijah.

“Tadi malam kan saya jaga, Jah. Saya belum cerita ya? Pak Tukilem anaknya sakit. Jadi, saya disuruh ganti jaga,”jelas Pa Ijo untuk semakin diperhatikan Mpo Ijah.

Duduklah mereka di warung nasi dengan makanan seadanya. Setengah nasi sudah habis tetapi kata-kata belum mulai-mulai. Akhirnya, Mpo Ijah merangkai kata untuk membuka percakapan.

“Anjingnya sudah mandi, mas?” tanyanya basa-basi walaupun ia tidak peduli.

“Udah,” jawab Pa Ijo.

“Mandi di mana, mas?” tanyanya lagi karena si target belum memulai pembicaran.

“Salon,” jawab Pa Ijo, masih satu kata.

“Salonnya sama kayak salon orang tak, mas?” Mpo Ijah masih berusaha.

“Bedalah,”Pa Ijo pun tidak terpancing untuk menjawab lebih dari satu kata.

Mpo Ijah kehabisan pertanyaan dan lebih memilih diam. Begitu pun Pa Ijo. Nasi sepiring sudah habis, tapi dia masih saja duduk dalam diam sambil menghisap rokok filternya.
Tidak lama, Pak Tukilem, satpam yang kerja di rumah majikan Pa Ijo juga lewat dan menegur.

“Pa Ijo. Waduh, makasih ya tadi malam sudah digantikan,” kata Pak Tukilem.

“Oh iya, Pak. Tenang saja. Rumah juga aman kok,” jawab Pa Ijo basa-basi.

“Nanti malam Pa Ijo dateng kan? Ada acara syukuran di rumah majikan,” tanya Pak Tukilem.

“Nanti malam, Pak? Wah, saya kira masih besok. Yah, datanglah, Pak, lumayan makan gratis,” jawab Pa Ijo bersemangat.

“Yo wes kalo gitu. Sampe nanti malam yo,” pamit Pak Tukilem.

Tak berapa lama, Pa Ijo mengajak Mpo Ijah pulang. Selama perjalanan, Mpo Ijah berharap untuk digandeng oleh Pa Ijo. Namun, harapannya hanya ditemani langkah kaki yang sudah gontai. Sampailah mereka di depan gang rumah Mpo Ijah. Pa Ijo pamit mau pulang dan istirahat karena nanti malam harus ke rumah majikan lagi.
Pa Ijo kembali melanjutkan perjalanan kakinya dan Mpo Ijah terus berdiri di depan gangnya sambil melihat punggung Pa Ijo. Hari ini Pa Ijo tidak sadar dengan pakaiannya yang bagus. Hari ini Pa Ijo tidak mencium dengan harum tubuhnya yang semerbak. Hari ini Pa Ijo tidak melihat jelas warna gincunya. Hari ini adalah satu-satunya hari dari beberapa bulan belakangan yang sudah disiapkan Mpo Ijah untuk bersenang-senang dengan kekasihnya. Tapi, kekasihnya lelah dan kelaparan. Mpo Ijah tak bisa marah. Ia hanya kalah dengan waktu. Atau kalah balapan dengan lelah dan lapar? Akhirnya, ia pulang sambil menatap batu-batu di jalanan dan langsung masuk kamar.
Hari sudah gelap.

23-3-2007
11:14 pm

Komentar