Postingan

Kepada Simone de Beauvoir

saya datang tanpa bunga apalagi doa terima kasih telah mengajarkan ada juga cinta Paris, 14 Oktober 2015 *dalam kunjungan ke makam Beauvoir dan Sartre

Entah Catatan Saya, Entah Punya Tuhan

ketika sedang lengah-lengahnya, orang dua akan menyelinap mencuri catatan orang satu yang penuh dengan coretan dan selalu diselipkan dalam tumpukan bantal terdalam tidak lupa, orang dua sengaja meninggalkan jejak entah bebauan atau sekalian scarf yang hanya orang dua punya dalam keadaan terjaga nantinya, hmm… atau, ketika sedang dalam keinginan untuk menuliskan catatan, tersadarlah bahwa orang satu dalam kehilangan dan, orang dua cenderung dicurigai matanya akan melirik tajam kalau orang dua berlalu sembari mencoba mengingat-ingat apa yang ditulisnya dalam catatan ada dalam keadaan bahwa orang dua mengetahui segala hal yang tertoreh orang satu akan menjaga santun agar nama baiknya diselamatkan, jika masih bisa orang dua lenggang kangkung dalam keseharian dianggap mengetahui segala rahasia, yang ternyata tak pernah dibacanya Den Haag, 22 Oktober 2015

Surat Samudra #7

Kepada Samudra, Kamu ada tanpa hadir. Di ujung Zadar, kamu menemuiku dengan damai sekaligus menyengat. Seorang bapak tua tetiba menopangkan tubuhnya di lantai. Beliau kapok dengan keadaan tanpa mau menyerah. Pasangannya membiarkannya dan kamu menyenggol lenganku. "Ingat siapa?" tanyamu berbisik dengan senyum menggoda. Aku membuang muka, menolak untuk menjawab sesuatu yang sudah kami ketahui. Kamu berhasil membuatku merasa egois atas nama segala keduniawian. Tapi, kamu tahu, aku memang tak pernah meninggalkanmu sepenuhnya. Makanya, di pucuk Plitvice pun, kamu masih ada. Tak perlu ke laut, katamu. Jika banyak hal memang berujung di Samudra, aku menemuimu dari cikal-bakal. Di tiap aliran air terjun yang menggoda untuk melepaskan apa yang tadinya aku anggap penting. Resah boleh saja, juga tak lupa bahwa perlu damai untuk menerima. Sejoli-dua joli renta berlomba mendaki, saling memberikan tangan untuk menguatkan. "Ingat siapa?" persis seperti di Zadar, kamu juga me...

perkemahan

orangtuaku tinggal di kemah dengan paku tenda yang rentan juga atap yang siap mengucurkan air kala hujan ibu sibuk memanaskan tungku dari kayu bakar yang selalu padam bagaimana dengan ayah? terduduk diam di ambang kemah nyaris kalah dengan keadaan kakakku menyiapkan barisan mengambil tas tanpa isi mencium tangan kedua orangtuaku sambil bilang, "aku berangkat dulu ke kota mencari apa yang bisa dicari" beda pula dengan satunya datang dari belantara hutan membawa satu kaleng bekas berkarat "bu, ini lumayan untuk minum nanti" diletakkannya kaleng itu di bawah tenda yang bocor satunya menghampiriku yang sibuk menggali lubang entah buat kotoran atau jenazah keduanya sama saja, sama-sama belum ada dia mengangkat bahu ketika saya tanya, "mas, apakah ini lebih baik daripada kematian?" Den Haag, 22 September 2015

Memanusiakan Manusia

Objektif. Itulah yang sering orang gadang-gadang sebagai modal utama dalam hal berargumentasi atau sekadar memberikan penilaian. Pertanyaannya adalah seberapa bisa kita untuk menjadi objektif? Lebih penting lagi, seberapa penting kita untuk menjadi objektif? Jangan-jangan, objektif hanyalah penyangkalan terhadap diri sendiri. Pertanyaannya adalah siapakah yang dikeluarkan dalam bingkai objektivitas? Tentu, diri sendiri. Seakan-akan subjektif menjadi begitu keji. Bukankah dalam nyaris semua hal, pengalaman, pandangan, juga kepercayaan diri sendiri mempunyai pengaruh signifikan dalam berargumentasi, menilai, juga bahkan berkarya? Subjektivitas sudah digarap sebagai metode utama, apalagi di kalangan feminis, postdevelopmentalist, juga seniman. Subjektivitas mungkin persoalan memanusiakan manusia kalau bisa disederhanakan secara asal-asalan. Bukan hanya memanusiakan pelaku yang punya emosi dan pengalaman masing-masing sebagai sebut saja pendebat, peneliti, atau seniman, tapi juga ...

“Apalah relasi antara ruang dan makna?”

Saya belum muak bicara tentang ruang. Lupakan sejenak tentang jarak yang mencelahkannya. Namun, pertanyaan semacam itu bukan yang sekali atau dua kali terlontar, bahkan dalam diri saya sendiri kadang. Coba, kalau Anda sedang punya keinginan untuk buang-buang waktu dan tahan dengan kebosanan, Anda boleh menemani saya dalam ruang ini untuk bercerita. Sebelum berlanjut, ini bukan cerita menyenangkan melulu. Saya punya pengalaman terhadap berbagai ruang, mungkin Anda juga. Nyatanya, tidak perlu menjadi orang yang asyik atau menarik untuk bisa berada di beragam ruang. Ini tentang salah satu ruang selama 6 tahun, termasuk satu tahun tidak berada di ruang itu. Jadi, apakah ruang selalu sesuatu yang bisa dilihat? Atau, selama bisa membayangkan dan merasakan ruang yang sama, itu masih bisa disebut ruang? Apalah relasi antara ruang dan makna. Pesimis. Itu mungkin awal mula kehadiran di ruang itu. Banyak hal saya percaya tidak akan terjadi, bahkan tidak melihat ada kemungkinan untuk ...

Pejuang #1

Mas, apakah kamu pernah menilai segala apa yang kau lakukan merupakan bagian dari perjuangan? Banyak orang tahu, juga istrimu yang tak lagi lugu, bahwa kamu menolak segala bentuk perlakuan yang tidak memanusiakan manusia, bahkan jika itu tidak terjadi kepada dirimu. Tapi, apakah benar setiap bangun pagi, kau akan berkata: "Hari ini, aku akan berjuang!" Saya melihat guratan urat di lehermu ketika kau berteriak lantang. Kamu seperti orang marah, Mas. Atau, kau mungkin memang sangat marah. Kemarahan itu membuatmu mengakrabi segala tantangan. Tak ada yang jadi penghadang. Tapi, mereka juga tak segan untuk membuatmu hilang. Inginkah kau melepas keluarga dengan ucapan selamat tinggal yang layak, Mas? Kata-kata yang memang disadari akan diberikan untuk terakhir kalinya, bukan sekadar perpisahan ala Jakarta-Den Haag. Tidak diragukan bahwa apa yang kau lakukan memang diperlukan. Tapi, apakah itu perjuangan, Mas, sejak semula? Atau, itu menjadi perjuangan ketika baramu tak mati-m...

Dari Den Haag, Untuk Jakarta

Gambar
Senja kemerah-merahan dari Dorus (pukul 20.22 CEST) Saya mengutuk jarak sesiangan. Apakah jarak memang menimbulkan kerak? Jarak membuat rasa ketakberdayaan, kekalahan yang semestinya tidak terjadi, pun belum tentu demikian. Ada kekuatan untuk merasa melakukan lebih banyak hal yang membumbung ketika mengakrabi jarak. Ingat, hanya merasa, belum tentu demikian. Saya menanyakan diri saya sendiri. Apa yang bisa dilakukan dengan jarak yang tak bersekat? Sayangnya, saya tidak bisa memberi jawaban lebih. Sama saja, tidak banyak yang sanggup saya lakukan. Jadi, saya menarik rutukan saya terhadap jarak. Mungkin, saya memang bukan jagoan hiburan. Saya tidak punya kepandaian dalam meredam duka nestapa orang lain, jua diri sendiri tentu saja. Tapi, biarlah luka saya dibicarakan nanti-nanti saja, kalau ada waktu yang berlebihan. Satu kalimat yang saya keluarkan hanyalah, “Kesenangan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Berdamailah dengan itu.” Kira-kira, itu adalah kalimat andalan. Tapi...