Postingan

Mimpi di Jakarta

--> Jakarta menyimpan segerombolan mimpi yang tersembunyi dalam kekhawatiran—kalau belum sampai ketakutan. Mimpi-mimpi itu seperti tidak pernah ditemukan kembali ketika sedang bermain petak umpet; entah karena penghitungan yang terlalu lama atau pemilihan tempat bersembunyi yang semakin piawai. Mimpi itu menakutkan, seperti merencanakan kekecewaan. Mimpi yang menjadi nyata diceritakan berulang kali tanpa pernah dialami, seperti mitos yang ditawarkan turun-temurun.   Apakah mimpi perlu dikabulkan? Berita yang berceceran menunjukkan bahwa mimpi hanya untuk orang-orang yang bisa memilih, punya kelebihan hingga memunculkan kesempatan. Bagaimana dengan orang-orang yang bukannya tak sanggup bermimpi, tapi tak ada waktu untuk melakukannya? Setiap detiknya dihabiskan untuk berjibaku dengan strategi bertahan hidup: makan apa, tidur di mana, lupakan baju menguning yang tinggal tunggu waktu sobek, apalagi kesendirian yang sudah akut. Beberapa tahun lalu, seseorang yang dib...

Selamat Tinggal di Teras Rumah

Kalau ini sudah pasti terjadi, mengapa kita terus membicarakan ini? Kami bertemu di satu teras rumah. Saya sudah menunggu sedari pagi. Ketika matahari mulai condong ke barat, itulah saat pintu pagar terbuka tanpa aba-aba. Saya hanya bersandar di tembok depan pintu melihat kedatangan dia. Saya tanya, “Bawa apa?” Dia kemudian menjawab, “Bawa calon sampah. Kaleng, plastik, dan karton. Kita belum bisa menolak sampah,” sambil tertawa. Saya tahu, itu adalah tawa ledekan. Dia menaruh dua kaleng minuman, dua camilan asin berbungkus, dan satu camilan manis berkotak di meja teras. Kemudian, kami sama-sama duduk bersebelahan di kursi teras yang memang hanya dua buah. Kami saling menatap dan mengakhirinya dengan tawa. Saya siap memulai pembicaraan, “Jadi, apakah ini bentuk suap?” Dia kemudian mengeluarkan rokok dari kantong jaketnya. “Mungkin. Saya perlu bantuanmu.” Sambil menunggu dia membakar rokoknya, saya menimpali, “Ah, pasti ini kesusahan. Tidak ada…” saya memberhentikan lanjutannya...

Galaksi Kosong

--> Kemudian terbanglah ke galaksi Menempa sunyi yang sepi Dibebat dingin Tanpa hujan angin Redup… redup… biar hilang segala degup Henti… henti… sampai tiada napas dan mati Melangkahlah dari bumi Tak ada lagi yang alami Kerja hanya bungkusan budak Peduli hanya janji yang mengudak Biru ini semakin melebam Menatap harapan menenggelam Meredam pendar sampai mati Menjadikan segala jadi nisbi Rindu dan puisi sama-sama kosong Manusia dan cahaya menggosong

Kapan Pulang?

“Kapan pulang?” Itu adalah salah satu sticker favorit saya dari rangkaian #celahjakarta. Tadinya, itu dibuat atas dasar bayangan saya dengan pertanyaan lanjutan, pulang ke mana? Bukan bermaksud tragis, justru bahan tertawaan. Boro-boro berpikir kapannya, ke mana saja belum tentu tahu. Ada beberapa hal yang jauh terasa lebih menusuk daripada yang tidak terkatakan. Menusuk yang bisa ditertawakan. Senjata makan puan. Pertanyaan itu diberondong oleh beberapa orang ketika saya sedang sakit. Salah satunya, saya mendapatkannya dari ibu saya, “Kamu nggak mau pulang?” Pesan itu berbalas, “ I’m home, Am. Ini sudah di apt.” Bagi sebagian orang, ‘pulang’ tidak pernah diartikan berada di satu ruang yang penuh dengan kesendirian—padahal maknanya tidak sama dengan kesepian. Kemudian, saya sadar, perbedaan makna itu juga bisa menyakiti orang lain. Namun, saya tahu betul, banyak hal yang bisa jauh lebih menyakitkan kalau saya tidak berada dalam ruang yang paling nyaman dalam keadaan sakit. Berada...

Diskon Kesehatan pada Hari Ibu

Gambar
Apakah sudah dimulai perdebatan ritual setiap 22 Desember? Sebagian orang—dengan alasan masing-masing—sibuk merayakan Hari Ibu dan sebagian orang lainnya lebih memilih memperingati hari ini sebagai hari gerakan perempuan—juga dengan alasannya sendiri. Sudah mulai? Sudah mulai atau belum, kita bisa jadi kalah cepat. Ada pihak yang sudah merayakannya terlebih dahulu sejak seminggu lalu; pun pakai atas nama Hari Ibu. Sejak 13 Desember sampai akhir bulan ini, salah satu rumah sakit swasta mempersembahkan penawaran menarik bagi para ibu Indonesia agar tetap sehat dan aktif. Kata-kata itu saya ambil langsung dari brosurnya. Perhatikan kata mempersembahkan yang seakan-akan sudah diatur dan dipikirkan sedemikian rupa. Ada beberapa kata kunci yang akan dibahas lebih lanjut: ibu dan sehat. Sekarang, kita lanjut dulu untuk melihat penawarannya berupa diskon 10% jika mengambil paket hemat. Paket hemat yang dimaksud adalah pap’s smear, mammography, bone densitometry, dan USG payudara. Jika m...

dua desember

di kota tak bersudut, semua serba putih diumbar segala kekuatan yang dilatih berawal ketidaktahuan menjelma patih di mana lagi mesti kita tanamkan letih? demi nalar, lebih baik kalah atau salah? demi benar, lebih baik takut atau kalut? perayaan berjejalan menjadi ancaman pembiaran malah memantik pertanyaan apakah sedang menghimpun ketakutan? atau malah menimbun kebebasan? demi nalar, lebih baik kalah atau salah? demi benar, lebih baik takut atau kalut?

Kematian Begitu Dekat

"Saya mau mati." "Saya mau mati." "Saya mau mati." Pesan-pesan tersebut saya dapatkan berturut-turut sekitar pukul 19.00. Tidak ada keakraban di samping saya, hanya kumpulan orang dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Juga nyamuk-nyamuk yang mengingatkan keberadaannya dan meninggalkan bekas di tubuh. Saya dan pemberi pesan sama sekali tidak akrab. Namun, pesannya terasa begitu akrab. Saya langsung meninggalkan pesan kepada seorang teman, "Bisa bantu teman saya?" Entah apa makna teman. Satu-satunya yang ada dalam pikiran saya hanyalah memberikan pilihan lain selain mati. Jangan sampai dia pilih mati. Konsentrasi saya bubar secara nyata. Saya berkonsentrasi penuh dengan pesan-pesan. Entah mana yang nyata. Dia setuju menunda kematiannya untuk bertemu dengan saya keesokannya. Setelah pertemuan dengannya, saya runtuh; merasa telah mengkhianati apa yang saya percaya. Saya percaya setiap orang sudah punya pilihan. Dan, saya percaya bahwa saya ...

Cerita Hari Minggu

Hari ini saya kebosanan. Mungkin itu kata halus dari kesepian.  Saya hubungi teman-teman. Satu sedang kencan. Satu sedang jalan-jalan. Satu sedang arisan. Satu sedang latihan.  Coba kirim pesan ke lain kawan-kawan. Satu dengan anjingnya sudah janjian. Satu ada  kerjaan untuk bayar tagihan. Satu lagi tidak dapat balasan. Akhirnya bertemu dengan satu teman yang janjinya terus dibatalkan. Ternyata dia butuh hiburan. Baru saja gagal perkawinan. Sebelum ijab kabul, sudah banyak permintaan. Satu temannya datang. Katanya, sedang dililit utang. Melambung tinggi harga semua barang. Pendapatan di bank hanya lalu-lalang. Satu lagi tiba, lelah menyupir mobil bukan milik pribadi. Dipecat pas anak mau masuk sekolah sebulan lagi. Pasangan ngomel karena makanan tidak bergizi. Surat pecat disimpan dalam laci. Akhirnya, mereka adu tragedi. Temannya ada yang ditinggal pergi. Pacarnya sekolah ke luar negeri. "Kamu ke sini atau kita ...

Dukungan Pemerintah terhadap Mesin Pengeruk Kemanusiaan

Ketika lagi mengajar bahasa Indonesia via Skype, satu whatsapp group sibuk membahas camping akhir minggu ini. Satunya lagi sibuk ngobrolin rencana nge-beer Jumat malam. Satu whatsapp group lainnya baru berhenti kurang lebih 3 jam lalu setelah seharian tidak berhenti membahas kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru saja dicabut. Angkat nama dengan kebijakan yang baru dikeluarkannya: anak-anak sekolah selama satu hari penuh. Satu hari penuh yang dimaksud Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru adalah sampai jam 17.00. Jadi, orangtua bisa menjemput anaknya sepulang kantor. Mengutip CNN.com , Mendikbud Muhadjir Effendy bilang begini, “Dengan sistem full day school ini, secara perlahan, anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja.” Kebijakan tersebut menuai kecaman. Whatsapp group tempat saya hanya menjadi ninja (mengamati tanpa komentar) tentu saja merongrong kebijakan terseb...