Postingan

Benalu Publik

Gambar
Apa keberhasilan Anda selama seminggu terakhir? Pertanyaan tersebut sering saya tanyakan dalam pelatihan, lokakarya, atau bentuk forum lainnya. Sering kali, kita* mengalami kesulitan menjawab itu. Kita malah cenderung lebih mudah menjawab pertanyaan, “Apa masalah yang Anda hadapi selama dua hari ke belakang?” Kita menganggap keberhasilan sebagai suatu hal yang begitu besar. Prestasi. Penuh perjuangan. Keseharian kita tidak dianggap sebagai bentuk keberhasilan-keberhasilan kecil yang mengajak kita menuju sesuatu yang lebih besar. Lagipula, apa pula yang membuat besar terasa lebih adekuat? Kita menganggap keberhasilan memberikan pengaruh terhadap banyak orang. Kesibukan setiap hari dianggap miskin pengaruh. Apakah memberikan ASI setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap anaknya? Apakah berkata dan bertindak jujur setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap orang-orang yang kita temui? Mengaku-aku keberhasilan merupakan bentuk dari kepongahan. Dan, kita diajarkan di ...

Dunia Pembangunan bagi Orang yang Tidak Lihai Bicara

Perempuan berambut kecokelatan ini perlu makan waktu lebih dari 20 jam untuk sampai di Jakarta. Jauh-jauh terbang dari New York, ia datang di ruang rapat berukuran kurang lebih empat kali enam meter untuk menjelaskan penelitian yang sedang diusungnya. Selepas penjelasannya, orang-orang pilihan yang ada di dalam ruang itu menimpalinya dengan masukan dan komentar. Saat itu lah, ia berbisik kepada saya, “ Speak up .” Dunia pembangunan ini mungkin memang bukan tempat nyaman bagi orang-orang yang tidak punya kelihaian berbicara. Di aksi Kamisan, orang-orang bergantian memegang mic atau toa. Di Bundaran HI, orang-orang naik ke atas mobil atau panggung. Di depan Gedung KPK atau Gedung DPR, mereka berteriak lantang. Mereka menyuarakan keadlian dengan urat di lehernya yang mengeras. Saya beberapa kali hanya memegang poster atau membagikan selebaran kepada orang yang berlalu-lalang. Lebih sering, saya hanya hadir. Ada. Suatu kali, di salah satu aksi, orang-orang setengah dipaksa...

Manusia Gunung

“To know love we have to tell the truth to ourselves and to others. Creating a false self to mask fears and insecurities has become so common that many of us forget who we are and what we feel underneath the pretense.” – Bell Hooks dalam All About Love (hlm. 48) Kenalkan, dia adalah Manusia Gunung. Bukan, hobinya bukan naik gunung. Bahkan, katanya, ia tidak mengakrabi gunung. Pertemuan pertama kami juga bukan di gunung. Hanya di lembah. Tanpa sengaja. Tanpa rencana. Dan, saya menghampirinya tanpa api. Tapi, saya kebakaran sendiri setelah membaca tulisannya. Dalam tulisan keduanya yang saya baca, dia (Jaluardi, 2017) menulis begini, “Komunisme yang telah lama diluluhlantakkan—kini jadi dongeng di belahan dunia mana pun—masih menghantui negara rupanya. Padahal [,] dulunya mereka juga yang memburu habis ideologi itu, partai dan orang-orang yang diseret-seret terlibat jadi hitungan statistik belaka.” Saya keluluhan dengan alur dan kata-kata yang mengalir. A...

Buruh Development

Bangunan itu berlantai-lantai semampai. Masih ada ruang di depan setiap pintu lantai bawah, pun dipenuhi dengan rak sepatu, jemuran pakaian, maupun perkakas rumah tangga. Orang-orang tinggal di dalam rumah-rumah yang tersusun padat.   Ketika melalui lantai paling bawah, saya beberapa kali menemui kakek atau nenek yang sedang melangut di kursi roda di terasnya. “ Morning ,” begitu saja saya menyapa. Mereka diam saja. Atau, hanya melihat saya yang terus berlalu. “Masuk dalam kategori setting film horor ala Wong Kar Wai atau mungkin Joko Anwar,” saya mbatin . Saya menuju satu bilik nomor 26. Ruang ini sebenarnya seluas dengan beberapa rumah di tempat itu yang digabungkan. Orang-orang di dalamnya pun berbeda dengan penghuni yang saya lalui ketika berjalan di dalam bangunan itu, mulai dari cara berpakaian yang jauh lebih rapi dan orang-orang yang terlihat lebih muda. Ruangan-ruangan di dalamnya pun dipenuhi dengan perangkat canggih terkini. Bilik ini merupakan tempat kerja...

Merangsang Kekhawatiran

“Ini pertunjukannya interaktif, nggak?” “Maksudnya?” Pertanyaan saya ajukan dengan alasan antara tidak mengerti, menanyakan ulang maksudnya sama dengan yang saya tangkap atau bukan, atau memastikan ia bicara dengan saya. Atau, saya mungkin tidak mendengar jelas dia bilang “penunjukan” atau “pertunjukan” dan hasrat untuk menyunting besar. “Akan ada interaksi antara pemain dan penonton, nggak? Saya duduk di paling depan, nanti bisa ditanya-tanya. Saya takut.” Perempuan itu duduk di depan saya. Kami sudah duduk manis di bagian kanan panggung jika menghadap ke ruang suara di depannya. Ia tidak sendiri, bersama pasangannya. Saya juga. Maksudnya, saya juga tidak sendiri, bersama teman-teman saya di kiri dan kanan saya. Saya memajukan badan saya untuk memastikan kursi di sebelah kirinya masih kosong. “Di sebelah ada orang?” “Nggak ada.” “Wah,” Begitu saja saya merespons. “Oh iya! Jangan-jangan, pemainnya duduk di sini.” Dahinya berkerut. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya sed...

Tersedak Janji

--> Dari kecil, kita biasanya sudah sering diajarkan untuk berjanji. “Janji, ya, besok sekolah”, “Janji, ya, langsung pulang”. Janji itu menyeramkan. Membuat kita tidak bisa berkelik tanpa tahu apa-apa yang akan terjadi setelahnya. Kita seperti merelakan diri masuk hutan rimba tanpa boleh keluar lagi sampai janji selesai. Di dalamnya, mungkin memang akan ada air terjun yang sejuk, sungai yang jernih, keindahan yang membuat kerasan. Tapi, juga mungkin ada kejar-kejaran dengan beruang, terkaman macan kumbang yang tiba-tiba. Itu bisa jadi masih jauh lebih baik. Kita bisa langsung mati. Selesai. Mati terhormat karena menepati janji. Ada yang jauh lebih menyeramkan. Di dalam hutan itu, bisa juga ada lintah yang menyerap darah diam-diam. Ratusan semut rangrang yang menggerogoti. Malam yang mendung sehingga gelap tak lelap-lelap. Kadar bahaya ada beberapa garis di bawah cerita sebelumnya. Tidak mematikan secara langsung. Hanya menyiksa perlahan-lahan. Luka-lukanya terus memeri...

Personalisasi Karakter Agency

--> Saya pesan bintang. Dia pesan sesuatu yang katanya dari Amerika, tepatnya Meksiko. Iya, Meksiko terletak di Amerika. Benua Amerika. Semoga kita cukup bijak untuk bisa membedakan Amerika Serikat sebagai negara dan Amerika sebagai benua. Setengah botol, dia cerita, dalam diri kita, ada setidaknya dua karakter yang terus-menerus ada. Satu karakter terus menenangkan kita. Satu karakter lagi terus membantai kita. Biasanya, karakter itu begitu personal. Mereka bisa berupa orang-orang yang memang kita kenal. Ada pula yang menyerupai orang dengan karakter tertentu. Misalnya, bagi dia, si karakter bijaksana selalu berupa seorang nenek tua yang terus menenangkan dirinya, “Maafkan diri kamu, Nak. Terima dirimu apa adanya.” Karakter satu lagi menyerupai ayahnya yang kerap bilang, “Kamu masih saja mengecewakan.” Bagi saya, ceritanya masuk akal. Saya sering menjadi pengamat pembicaraan serupa itu. Di dalam kepala saya; pun kadang suka keceplosan untuk saya katakan lantang. Ada ma...

Kurasi Ingatan Cahaya

Sore itu, Bapak Tua duduk di beranda. Rambut putihnya sudah tumbuh berdekatan sejak lama. Bengongnya tidak kosong. Terasa benar pada teduh matanya yang kalem. Beliau menoleh ke belakang ketika menyadari keberadaan saya yang mengamatinya dari belakang. Beliau meminta saya untuk duduk dengan menepuk-nepuk bangku yang ada di sebelahnya. Saya manut. “Bapak Tua tidak kepanasan duduk di sini? Sinar matahari langsung ke tempat duduk kita.” Beliau menggeleng, dia bilang, saat ini, beliau sedang belajar untuk mengakrabi cahaya. Peluhnya menetes. Saya menunduk. “Waktu itu, gelaaaap sekali. Sangat gelap. Jelang beberapa langkah, saya hanya melihat gelap. Hitam. Hitam pekat. Saya memutar tubuh saya (sambil ia praktikkan) untuk lihat sekeliling. Tidak ada. Tidak ada apa-apa yang terlihat. Hanya hitam. Hitam pekat.” Bapak Tua ini pernah hilang, entah berapa lama. Bapak Tua selalu cerita, beliau masuk dalam kegelapan. Kemudian, beliau jarang sekali melanjutkan ceritanya. Ini adalah saat lang...

Orang Tua dan Anak Muda #1

WARUNG KOPI TEGAR RASA Itulah nama yang terpampang di papan depan gubuk sederhana yang aku lalui. Aku berdiri di depannya, melongok untuk memastikan situasi di dalam cukup aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang sendirian. "Masuk sini, Anak Muda. Jangan ragu untuk minum jika kehausan." Suara itu datang dari meja yang agak di dalam, seorang tua berambut putih agak kehitaman sedikit memanggil tanpa menggerakkan bokongnya sedikit pun. Tidak ada sesiapa lagi selain ia dan perempuan penjaga warung. Aku terpanggil, berjalan mengarah kepadanya. "Apa yang mau dilihat, apalagi dirasakan, jika hanya melongok dari luar saja? Duduk sini. Pesan minum sebelum jalan lebih jauh lagi," ia merayu terus. "Mbakyu, boleh pesan satu kopi?" Perempuan yang sedari tadi sedang kipas-kipas dengan tatapan kosong berdiri menghampiriku. "Gulanya habis," jawabnya singkat. "Tanpa gula tidak apa-apa," aku balas. "Kopinya juga habis." Aku menolehkan pandanga...

Kalah Mati di Medan Perang Sendiri

Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Kenapa diam saja? Bisikan-bisikan itu. Tanpa aba-aba. Seketika. Dan, lagi. Lagi. Lagi. Belum berhenti. Perempuan itu meringkuk di sofa. Ini adalah kali pertama ia merasa dilecehkan oleh laki-laki itu, teman lamanya. Tindakan tanpa persetujuan. Kejadian yang membuat dirinya merasa terhina. Ia tidak berani masuk ke dalam kamarnya sendiri setelah pelukan dari belakang dan ciuman tanpa consent . Bencana seakan menanti di sana. “ Cepat pagi. Cepat pagi. Cepat pagi,” ia merapal mantra. Sayang sekali, waktu memang bukan penyembuh yang baik. Seharusnya, ia belajar dari pengalaman. Dan, ia memilih melakukan hal yang sama: diam. *** Avery (1990) menulis, “ We live in in a conspiracy of silence. ” Dan, itu adalah bagian dari petaka yang berkelanjutan. Selain memang bisa menjadi strategi dalam beberapa kasus, diam bisa jadi pembenaran atas hal-hal yang tidak berkenan. Pem...