Maklum Tanpa Paham


Tengah malamku terganggu. Setidaknya, aku merasa terganggu, meskipun mungkin bermaksud tanpa. Tenangku direnggut, apalagi nyenyakku. Ditepis segala bayangan yang indah-indah.

Dering telepon itu berbunyi terus-menerus. Masih tengah malam. Berkali-kali tanpa suara. Akhirnya, dikatakanlah yang menjadi kerisauan di seberang sana. Mungkin, itu terjadi setelah ketegangan yang memuncak atau keberanian yang tiba-tiba ada dan entah kapan tiba lagi. Maka, langsunglah digunakan kesempatan satu-satunya itu. Kali itu, sama sekali bukan pembicaraan, hanya penyampaian.

Tanggapanku datar. Ketiba-tibaan sering kali meminta proses yang justru lebih lama, meskipun dituntut memberikan tanggapan lebih segera. Suaraku tak meninggi sama sekali. Tak ada tuntutan apa-apa. Mungkin, seberang sana berharap ada paham. Namun, maaf, aku tidak paham. Hanya maklum.

Tanpa paham, maklum bisa ada. Tanpa ditanya, diminta, bahkan dimohon, dengan segera kuberikan maklum. Dan, membiarkanlah segala menjadi nyata dan berjalan di tepian sungai masing-masing. Ini adalah sakit akibat nyata, bukan ilusi sama sekali.

Sepaginya, kisah itu menjadi lucu. Begitu lucu. Sepanjang hari, aku bisa menciptakan banyak lelucon dari kisah tragis itu. Kemudian, kucari lelah yang berkesangatan hingga bisa bertemu kembali dengan nyenyak. 

Komentar