Wajar
Sementara itu, berdirilah
saya di sini. Berada di titik paling kesakitan.
Selama ini, saya hanya
berusaha melarikan diri. Kini, saya sadar saya berdiri di mana. Mungkin, saya
sudah tidak berdiri. Terkulai dengan tatapan kosong. Menancap dalam tanah
hingga kesulitan untuk bergerak. Tak saya temukan lagi makna dari gerakan.
Dalam keterpurukan ini,
saya memancarkan sinar sebisa mungkin, meskipun yang mereka lihat hanya redup.
Padahal, itu adalah usaha terbaik saya setiap harinya. Tak sedikit cara saya
lakukan untuk bisa bersinar.
Itu semua karena saya enggan menerima iba
mereka. Saya bukan mau dianggap kuat karena saya tidak kuat sama sekali. Sudah
saya katakan, ini adalah titik kesakitan yang paling. Iba mereka hanya
mengingatkan saya berdiri di mana dan tak membuat keadaan menjadi lebih baik sekali pun.
Jauh dari itu semua, apabila saya diperkenankan melakukan apa saja yang sama mau, saya hanya mau diam. Menangis sejadi-jadinya tanpa dekapan sama sekali. Meratapi segala yang begitu tetiba sekaligus bertubi-tubi tanpa henti. Proses ini memakan waktu dan keadaan saya melemah.
Kali ini, saya mau lahap
habis. Membiarkan diri saya merasakan kesakitan tanpa ada perlawanan. Sendiri.
Tawaran yang kalian berikan bahkan tak berlalu-lalang sama sekali. Saya hanya
pura-pura tertarik untuk memenuhi anggapan kewajaran. Keadaan saya jauh dari wajar.
Saya merasa tergeletak. Di
beranda depan. Barisan paling depan. Dengan pakaian sekenanya tanpa ganti
berhari-hari. Terlalu banyak yang mampir dalam pikiran tanpa ada yang mau saja
ajak bicara. Hingga berlalu begitu saja, datang dan pergi dalam pikiran. Silih
berganti. Tanpa tidur, saya mencerna letih. Lemas saya tak berkesudahan dan
saya biarkan tanpa istirahat. Tanpa ada keinginan untuk bergerak sama sekali.
Mohon, biarkan diri saya
saja yang merasakan. Bukan Anda. Bukan kalian.
Perlahan. Saya yakin ini
akan terjadi perlahan. Tak secepat semua kejadian. Begitu perlahan.
Komentar
Posting Komentar