Postingan

efek bulan purnama

Entah ada apa, tapi suasana hati sedang tak berkehendak yang bagus. Selalu dalam situasi yang lebih mendukung untuk berbuat semaunya. Setelah beberapa bulan hilang, keadaan ini muncul lagi bulan ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk menjauhi keramaian dan tidak berkomunikasi panjang dengan orang lain. Malam itu, saya hanya butuh ditemani dengan jumlah yang minimal sekali. Pilihan masih jatuh pada sahabat lama yang mulai berangsur. Dengan sekenanya, dia justru tahu bagaimana harus menyikapi. Tidak berlebihan dan mungkin memang tidak berkekurangan seperti akhir-akhir ini. Hanya saja, kali ini, saya rela mengikuti cara dia. Masuk ke dunianya. Satu perjalanan singkat yang berputar. Satu linting yang dibagi dua. Diakhiri dua kaleng bir yang dihabiskan di rumahnya. Tak ada pembicaraan mendalam. Tak ada tawa meledak. Hanya ada. Kemudian, kami sama-sama melanjutkan dunia kami. Dia dengan pekerjaannya dan saya dengan buku saya. Setelah itu, saya pulang dan berusaha melepas segala harapan agar ta...

wilayah ini

Ini adalah wilayah yang seringkali dimasuki orang-orang. Kemudian,tak lama mereka segera meninggalkan wilayah ini. Entah untuk keluar melalui pintu lainnya atau ada pula yang segera kembali melewati pintu masuk sebelumnya. Saya dan beberapa orang lainnya kerasan untuk tinggal lebih lama di wilayah ini. Begitu banyak yang ditawarkan wilayah ini. Banyak hal bisa menjadi terlalu di sini. Terlalu senang atau terlalu sedih. Terlalu berani atau terlalu takut. Terlalu lama atau terlalu sebentar. Terlalu ramai atau terlalu sepi. Banyak yang bilang bahwa terlalu itu tidak baik. Tidak baik menurut siapa? Ada baiknya pula kita merasakan terlalu dalam hidup kita supaya kita tahu batas maksimal dan minimal kita. Kemudian, semuanya menjadi samar. Melihat dengan hati. Berpikir dengan hati. Tap, tetap saja, semua mengabur. Saya duduk saja di sini. Bukan lelah, hanya merasa tidak pantas untuk keluar dari wilayah ini. Belajar bersosialisasi dari wilayah ini. Kenal untuk merendam egois di wilayah ini. Ba...

bagi

Seorang perempuan duduk sibuk berdiam diri. Bangku lapuk itu rela saja didudukinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bahkan, bangku itu pun tak segan untuk turut menampung segala berat rindu si perempuan. Belakangan ini, ia seringkali didatangi pertanyaan-pertanyaan. Ia sempat terkejut. Apalagi, kali ini, tidak ada teman yang bersedia menawarkan pikirannya sejenak untuk bertukar. Ia percaya, kadang bukan jawaban yang dibutuhkan, hanya proses untuk mendapatkan jawaban yang paling dekat. Sayang, teman si perempuan sudah mulai melangkah perlahan. Tapi, si perempuan belum siap menerima segala perubahan. Teman-temannya hanya mau bersenang-senang. Cukup penat dengan dengan segala pengalaman sehari-hari yang mereka alami. Perempuan itu hanya butuh berbagi. Bagi kata. Bagi tawa. Tapi, bukan bagi perubahan. Dia belum cukup siap untuk itu. Teman terdekatnya pun rela meninggalkannya dalam pikiran si perempuan tadi. oktober2008

tepatnya teh panas

Dapat dikatakan mereka sudah berteman cukup lama. Menghabiskan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus malam bersama. Duduk saja sambil berbicara tentang pikiran-pikiran orang yang sudah tiada. Teori-teori para intelektual diperdebatkan dan disesuaikan dengan keadaan masa kini. Dering telepon tengah malam untuk bertemu dan membicarakan hal yang terlalu dianggap penting, padahal terlalu wajar, merupakan kewajaran. Bunyi pesan di pagi hari untuk menyantap sarapan di berbagai tempat baru dan beriukar berita di koran adalah kewajaran lainnya. Sesekali mereka juga bertemu dengan teman lainnya dan berbagi tawa. Tak ada teori dan tak ada rasa. Hanya pengalaman keseharian yang terlalu biasa dan pantas untuk ditertawakan. Hingga akhirnya suatu sore, laki-laki itu datang dengan secangkir teh panas yang sudah diseduh. Mengaduk gula yang sudah ditaruhnya dengan ukuran yang sudah pas sesuai selera si perempuan. Memang, beberapa kali sebelumnya, banyak gula itu seringkali salah. Berkelebihan atau berke...

Romeo and Juliet

Semua jejak yang telah dicetaknya terhapus pelan-pelan dengan susah oleh berat angin yang begitu ringan. Turut dihapusnya dengan sekaan air mata yang jatuh tanpa kehendak. Semua terjadi begitu saja diiringi segala penggalan kenangan yang tiba-tiba hadir. Menyapa pelan apa yang pernah terjadi dan seolah-olah ingin menjadikannya sesuatu. Padahal, di bawah dan di atas semua kesadaran, sudah tidak ada sesuatu. Bukan apa-apa. Bukan apa-apa lagi. Diajaknya melangkah segala harapan dan membentuknya menjadi kisah yang jauh dari Romeo dan Juliet. Siap, hanya itu yang tersisa dari lirik yang terngiang tiap malam. Malamnya diisi dengan nada-nada dan kata-kata yang diharuskan mengisi segala kepalanya. Melepaskannya pelan dengan hati yang sudah begitu erat. Malam itu harapan masih disisakan. Tak ada suara pintu paling depan yang berbunyi. Tak ada keinginan untuk mendengar yang datang atau yang pergi. Begitu banyak yang menjadi tak penting. Dihentikan harapannya. Namun, ketika seseorang berhenti ber...

udah kek

Apa yang harus kumohon darimu? Menghentikannya atau justru meneruskannya? Tadi malam, kita hanya berbicara dengan sederhana. Mengisi kesepian dengan tanya jawab. Tapi, sungguh, cara jawabmu kali itu terasa begitu lembut hingga menjahit satu luka dalam di hati ini. Satu benang saja di luka itu. Benang itu kucari betul di dalam bergelas-gelas wine, bir, kopi, dan berbungkus rokok. Tapi, nada jawabmu yang tak ada artinya itu mengalun pelan dan meng-ada-kan benang itu. Jauh di luar harapan. Jauh di luar asumsi dan bayangan. Maaf, aku sedang berkelebihan. Mungkin itu memang caramu seadanya. Tapi seadamu cukup menenangkan kekalutanku, setidaknya pada malam ini. Aku memang sedang jauh dari kata percaya. Terlalu sibuk membangun benteng yang lebih kokoh dari yang pernah ada. Dan, aku hanya mau mengucapkan terima kasih. Mungkin aku tak perlu memohon apa pun. Kamu sudah meletakkan batu benteng pertama malam ini. Mampu memberi senyum hingga ku di pembaringan. Menanggapi kenyataan tanpa pedih yang ...

Si Berani

Berapa banyak orang yang berani? Ada sebagian yang terlalu berani hingga tak kenal takut sama sekali. Mereka melanglang buana tanpa tahu mencari apa. Sebagian lainnya terlalu duduk sepi dalam ketakutan yang mendekap, walaupun mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Kemudian, bertanyalah mereka, apa arti berani sesungguhnya. Mereka duduk di puluhan meja ditemani bercangkir teh panas tanpa gula. Bahkan, mereka tak punya keberanian untuk mencicipi manis yang katanya bisa membuat orang merasa senang. Senang menjadi pemicu kesedihan bagi mereka. Sedih dan sakit pun tak membawa harapan. Harapan menjadi seperti benda di museum yang enggan untuk disentuh. Kotoran sedikit apa pun dapat menghilangkan keasliannya. Padahal, pembicara dan atau penulis posmodernisme menganggap bahwa tidak ada lagi yang orisinil. Garis ekstrimnya, keaslian tidak diperlukan lagi karena akan terus berubah, mengalami proses yang tidak pernah berhenti, jauh dari kata stabil—yang sering dijadikan tujuan banyak orang. Begitu...

secangkir caramel latte, sebotol bir

Secangkit caramel latte panas dan sepiring calamari. Mari ceritakan aku tentang pemikiran orang-orang terhebat zaman dulu. Aku juga siap mendengar celoteh opini yang tak terlintas dalam benak ini. Pembicaraan mengawang-awang dan penuh kiasan ini membentuk senyum dan tawa kecil yang menyeimbangi seruput caramel latte yang mulai menghangat. Sadarkah kau? Pembicaraan ini banyak menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap. Banyak kiasan dan alih-alih pikiran orang yang kita luntarkan. Mencoba mengajak berpikir jernih, padahal hati ini sibuk menjernihkan apa yang dia bisikkan sejak semalam. Kemudian, kita sanggup pulang dan meredakan segala emosi beserta rasionalitas gegara obrolan tadi. Sebotol bir dan sebungkus rokok. Asbak itu sudah penuh dan lelah mendengar tawa riang kita. Lelucon yang tak lucu pun bisa jadi pemicu gelak tawa kita. Mencoba keluar dari humor yang normal. Merendahkan selera sekadar ingin tertawa lepas. Omongan filsuf tak laku di sini. Dianggap merusak keadaan dan memaksa b...

cerita tentang sunat perempuan

Satu kakakku memilih pergi ke salah satu mal dengan keluarganya demi menyenangkan anak-anaknya yang sudah merengek sejak beberapa hari lalu. Sementara itu, keadaan rumah dipenuhi dengan dua kakakku yang lain beserta keluarganya. Aku sendiri duduk saja di bangku itu sambil membuka-buka buku agama yang hampir tidak pernah kusentuh. Kali ini, kuharus membukanya untuk mencari inspirasi membuat makalah tentang perempuan dan/dalam agama Islam. Keponakanku yang baru hampir 3 bulan ikut berkumpul bersama kami. Ikut berbicara dengan caranya sendiri seolah sudah mau bersosialisasi tanpa batasan umur. Aku menerima saja. Toh, dia mempunyai hak dan berusaha mengenali dunia yang baru saja dihuninya. Dia berjenis kelamin perempuan. Tambah satu lagi manusia di keluargaku yang harus dibela dan membela menghadapi dunia yang mendeskreditkan jenis kelamin kami. Semoga saja, pada saatnya nanti, dia sudah tidak mengalami kebobrokan masyarakat akan pemahaman kesetaraan dan keadilan gender. Tiba-tiba saja...

diskusi pagi

Dia datang pagi itu. Tak ada beban pikiran untuk dikagumi. Dia hanya datang dengan siap. Siap dimengerti. Datang dengan santai saja. Baju putih rapi tapi dipakai sekenanya. Wajah pun tak terlalu serius, tak dimimik sedemikian rupa untuk menarik perhatian. Biasa saja. Sama sekali biasa. Biasa seperti yang lain. Aku datang juga pagi itu. Lebih awal bahkan. Memang, pagi itu sudah ditunggu. Aku ingin menyocokkan bayanganku dengan kenyataan. Segala konsep yang kubuat sendiri pelan-pelan luntur dan berkembang pada saat yang sama ketika melihat kenyataan pagi itu. Kuperhatikan satu per satu. Putihnya yang lusuh sampai mimik yang seadanya. Bukan ini konsepku, tapi ini adanya. Bisa lebih, bisa kurang. Kenyataan itu tak berhenti seperti konsep yang ada dalam kepalaku. Tidak pernah berhenti. Terus berkembang mengikuti cabangnya. Selalu dalam proses pembentukan, tidak pernah selesai. Sampailah aku dan dia menjadi kita dalam batas satu diskusi. Kita berdiskusi, walaupun dia tetap menjalankan peran ...