Postingan

identitas perempuan

orang-orang bergerak lebih cepat daripada biasnaya. atau, saya saja yang semakin melambat. entah apa lagi penghalang. segala yang ada sudah saya persalahkan untuk menjadi benar. terbukti lagi, oposisi biner selalu menyudutkan. bahkan, tidak menghasilkan apa-apa. jika benar dan salah tidak lagi menjadi masalah, kenapa aku dan kamu bicara dalam bahasa yang berbeda? meski itu, kamu tetap mengerti tiap kata. paham tiap maksud. aku pun begitu. kenapa masih juga aku permasalahkan? aku jadi ingat tengah pagi itu. bangun dengan resah yang menggeliat di tiap arteri yang ada. bertanya asal, siapakah aku. identitas itu menguap. kujabarkan terbata-bata dengan meminjam bahasamu. ke mana bahasa aku? bahkan, aku pun tak bisa menjelaskan identitasku dengan bahasaku sendiri. identitasku tercekam. bukan baru saja dirampok, tetapi aku baru tersadar bahwa ini adalah bentukan. seumur hidupku dibentuk oleh kebelengguan yang kamu ciptakan. dengan bahasa yang ada, kau bentuk pikiranku untuk menyamaimu. berusa...

bukan apa-apa

aku selalu dibangunkan oleh perhelatan politik yang tak pernah kunjung selesai. lelah dengan saling menyalahkan dan melempar-lempar kambing hitam. tak ada lagi yang bisa dijaikan tersangka kuat untuk dimushi bersama. semua bersalah. apa yang aku tulis pun turut salah. dingin kaki yang hampir membuat kaku itu menyentakkan kamu dari kelelapan. tak ada berita apa pun. politik jauh. teroris tak sibuk. semua ramah. cuaca berakrab. tanah tinggal bukan perkara saat ini. apa-apa hanya bergerak di sekelilingmu. segala yang ada di sekitar aku dan kamu berbeda. pekatnya matahari di sini tak terasa apa pun di sana. guyuran hujan yang merintik menjatuhi kepalaku tak pernah ada di sana. aroma yang kita aku dan kamu sungguh beda. selalu menyatakan sama, tetapi setiap perbedaan yang aku dan kamu lihat di sekeliling justru menguatkan bahwa ini bukan tempat yang sama, aku dan kamu berdiri pada titik yang berbeda. sama-sama tak bertujuan, tetapi menapaki jalan yang beda. apa yang ditinggalkan? korek api ...

Gunung Kapur di Pulau Dewata

Di sana serasa hanya ada kita bertiga. Aku, kamu, dan dia. Di antaragunung kapur yang terbelah. Terkesima dengan kelihaian pikiran manusia berikut kepanjangan tangannya dari besi untuk membelah alam. Meilhat karya manusia yang aduhai tinggi dan besar. Dibuat untuk dinikmati dengan cara dilihat, dicermati, dikagumi prose’s pembuatannya dalam bayangan. Tertegun saja kita bertiga di sana. Kirim senyam-senyum sana-sini. Berjalan beriringan menyusuri anak tangga. Naik dan turun semaunya. Tak ada garuda yang bisa kita tunggangi dari sini. Diam saja dia terpaku menanti Wisnu Kencana duduk di atasnya dengan gagak berikut setangkai teratai yang tak pernah luput dari tangannya. Tak ada pelukan di antara kita bertiga. Tak terlihat mesra seperti yag dibayangkan orang-orang dengan gambaran bahagia. Cukup bersebelahan dan membiarkan satu sama lain saling menikmati. Apa saja yang bisa dinikmati. Suasana yang hanya milik kita bertiga saja, kehancuran alam yang dikagumi, lirikan lirih orang-orang, patu...

si tengkar

hai, tengkar kerasan sekali bermain-main dengan kami datang tiba-tiba saja tak kenal waktu, apalagi suasana bahkan, maaf, suka tanpa diharapkan selalu saja kamu tidak datang sendiri ajak si kesal dan si diam sekali waktu itu si tangis dan si teriak terlalu akrab dengan ego kami, ya? Satu saja yang tak pernah kau bawa ketika pergi Jadi, sekarang sudah menumpuk pada kami Untungnya, bisa kami gunakan Walau selalu masih kurang jadi, kami yakin kamu akan datang lagi dan meninggalkannya lebih banyak jangan pernah kau ambil, ya, meski sebentar kami kerasan dengan si paham kami tentram 10022010

tak ada yang cemburu

Aku dan kamu sama-sama diburu waktu. Semestinya, aku dan kamu sudah tidak ada di tempat ini lagi. Tempat panas, penuh asap rokok, banyak sampah, dan sesak oleh orang yang baru selesai makan seperti aku dan kamu. Kita sama-sama terjebak di sana. Hujan sedang senang menunjukkan pesonanya, begitu riang. Turun semaunya tanpa peduli baju kantor kita sudah basah terkena tampiasannya pada jam makan siang. Banyak orang menggerutu di sana. Pada awalnya, aku tidak ada masalah. Tapi, gerutu itu seperti penyakit menular. Tiba-tiba saja aku merasa panik karena belum ada di kantor jam segitu. Kamu pun diam saja. Tidak ada respons negatif. Justru tersenyum sambil melirik begitu kuselesai mendumel. Kamu tarik begitu saja tanganku. Berlarian di antara rintikan hujan yang tak mau kalah cepat daripada langkah aku dan kamu. Tertawalah aku dan kamu sambil sesekali melirik. Terus berlari membiarkan baju dan celana basah kuyup. Lompat masuk mobil dan tak berhenti tertawa. Dan, anehnya, hujan pun berhenti set...

pergerakan Jakarta

Jakarta itu bergerak cepat sekali. Semua orang seperti sedang lomba dan banyak yang curi-curi untuk mulai duluan. Tapi, memang harus begitu. Kalau menunggu bunyi peluit sebagai tanda mulai, kita seperti tidak akan pernah memulai. Setiap kali mau memulai sesuatu, orang-orang cenderung lihat kiri-kanan. Lihat aktivitas orang lain dulu. Ada banyak alasannya. Pertama , mereka mau menyesuaikan dengan sekitar mereka. Kira-kira, mereka mau meyakini diri sendiri apakah yang mereka lakukan sudah ada di jalur yang benar. Padahal, jalur yang benar itu seperti apa? Setiap individu justru bebas memaknainya. Kedua , mereka mungkin menjadikan sekitar mereka sebagai motivasi. Mereka tidak mau kalah, selalu berusaha menjadi yang terbaik. Kembali lagi, terbaik itu bentuknya seperti apa? Kemudian, terbaik untuk siapa? Ketiga , mereka melihat sekitar mereka sebagai subjek-subjek yang bergerak bebas. Alasan ketiga tersebut membuat mereka akan terdiam selama beberapa saat, bahkan untuk saat yang lama. M...

sepakat

Malam menjelang pagi tadi aku dan dia sepakat bahwa waktu seperti berkejaran. Aku dan dia sudah enggan harus menanti waktu dan menanti lagi. Aku dan dia duduk berjarak, masih cukup dekat, sepuluh sentimeter mungkin. Eh, lima sentimeter mungikn lebih benar. Duduk tanpa berpandangan di bangku tanpa senderan. Kemudian, sambil menghisap rokoknya itu, ia bertanya, seperti asal. “Apa kita menikah saja?” Aku buru-buru menutupi keterkejutanku. Pandangan aku dan dia tetap ke depan, tak saling tatap. “Untuk apa?” jawabku sekenanya juga. “Biar menang dari waktu. Biar ada kepastian bisa sama kamu terus. Memang, sih, kita tidak mengejar kepastian. Aku cuma mau merasa menang saja dari waktu,” tanganmu terlihat dari ujung mataku sambil membuang abu rokok. “Mau diisi apa?” tanyaku spontan. “Diisi kayak gini aja terus. Yang beda cuma nikah ama nggak nikah,” jawabnya. Setelah itu, tak ada kata apa pun lagi. Yang terdengar hanya berisiknya kota dari ketinggian, suara korek, hembusan asap rokok, dan desah...

asap di benang tipis

Kepulan asap mengepul dan melambung tinggi di udara. Padahal, awan sedang memantulkan warna birunya yang paling cerah siang hari itu. Burung-burung tidak ada yang lewat di atasnya. Kosong saja hamparan di atas sana. Kepulan asap itu terlihat begitu jelas dari bawah. Kita menatapnya saja dari bawah. Duduk di bangku lapuk depan took yang sudah tutup bertahun-tahun. Entah kenapa. Lama-lama, pegal juga kepalaku mendongak begitu. Akhirnya, kutidurkan kepalaku di atas pahamu itu. Sudah biasa kita tak peduli dengan omongan orang yang lewat dan melihat tingkah laku kita itu. Aku pun tak bermaksud untuk bermanja-manja siang itu. Aku hanya ingin merehatkan otot-otot leherku ini. Diam kita terpaku memperhatikan kepalan asap itu sedari tadi. Setelah aku tiduran di pahamu, baru kita mulai perbincangan itu. Seperti biasa, perbincangan kita selalu berakhir dengan pertentangan makna yang kita ungkapkan. Padahal, tak jarang pada akhirnya ternyata maksud kita adalah sama, hanya penyampaiannya yang berbe...

kisah lanjutan

Malam tadi kisah kita dimainkan. Banyak orang menikmatinya dan sibuk meraba rasa. Aku senyum saja. Kita pun bahkan sebagai pemeran utama, kala itu tak pernah meraba apapun. Mungkin, aku tidak hanya memberikan senyum untuk mereka yang menerka, aku justru tersenyum mengingat rasa kita waktu itu. Kita begitu dekat sekaligus terasing. Atau, kita begitu dekat dengan keterasingan? Tidak mengenal membuat kita duduk diam tanpa gusar. Pertanyaan yang diajukan jelas pertanyaan ingin tahu, bukan pengulangan atas keseharian. Semua begitu baru dan segar. Terasa jelas maklum sebagai hasil dari semilir perkenalan mendalam. Tapi, kepastian bukan tujuan utama kita. Itu adalah permainan yang mengakrabkan saja. Nyatalah bahwa kepentingan kita begitu dekat. Cukup bertahan untuk malam itu. Sama sekali tidak berani menaruh harapan kepada esok. Setiap malam akan berakhir pada malam itu juga. Tak ada perpanjangan waktu. Sedikit atau banyak kata, lama atau sebentar waktu, semuanya harus sudah selesai. Waktu ya...

dekapdalam

Malam ini, ya, malam ini saja. Aku hanya berharap tersedia waktu bagiku tanpa diminta, tanpa keharusan, tanpa segala penangkal aura penenang. Terlalu lelah kantung mata ini menahan beratnya tetesan air mata. Raga ini pun ingin kubiarkan melayang tanpa ada yang empunya. Biarkan saja raga ini terkulai lemas di atas rumput. Otak ini pun sudah keterlaluan. Biarkan aku melakukan apa saja yang kuinginkan malam ini. Malam ini saja. Aku ingin mati untuk bisa bernapas kembali. Boleh minta diam? Kemudian, aku akan bersender sesebentar mungkin. Membagi segala peluh dan berat yang hampir tak ada artinya bagi sesiapa. Jerih rindu ini sudah menjadi piluh. Rasanya, ini sudah bukan pada taraf mau lagi. Aku butuh. Ya, dengan lantang aku katakan aku butuh. Didekap dalam diam untuk menghentikan segala perputaran hidup yang begitu tiba-tiba dan cepat. Dekap yang dalam. Diam yang pekat. Berikan napas lagi untukku. Semua belum bisa berhenti di sini. Tidak bisa.