Postingan

Sisir Tanah, Karya, dan Kipas

Gambar
  Kiri…. Kanan… Kiri…. Kanan… Kiri…. Kanan… Begitu saja kerjaku seharian ini. Semestinya bukan pakai saja ; ini tugas berat. Antibosan. Antipegal. Konsistensi. Demi menunda keringat mereka. Demi memutar asap rokok yang mereka kepul. Demi mengibas rambut mereka di panggung. “Tolong matiin kipasnya. Dingin.” Seorang laki-laki melontarkan kejujuran yang ditangkap sebagai lelucon. Di tengah lagu yang sedang ia nyanyikan. Ya ampun, Mas. Suwun , Mas. Jasamu besar, Mas. Mas siapa tadi? Maklum, aku tidak bisa melakukan dua hal dalam satu waktu yang sama. Aku tak bisa memperhatikan apa-apa yang terjadi ketika ngiri-nganan-ngiri-nganan-ngiri. Tuntas sudah tugasku, sekarang aku bisa melihat sekeliling. Bukan. Bukan sekeliling. Melihat lurus ke depan. Mas Danto, namanya. Sisir Tanah, sebutannya. Dia penyelamatku malam ini.  Foto: Dokumentasi Jaluardi (2017) Dia tidak melantunkan kebisingan, melainkan kelirihan. Suara gitarnya pelan. Suaranya iku...

Gagal Cerai

“Aku gagal cerai.” “Lagi?” “Lagi!” Ini sudah ketiga kalinya ia ingin menceraikan suaminya. Dan, gagal. Kejadian ketiga ini terjadi dua hari lalu. Gara-garanya suaminya menolak ajakan buka puasa bersama keluarganya. Keluarga perempuan—yang berambut bondol dan sering dijumpai mengenakan rok lebar selutut—merencanakan tradisi buka puasa bersama di restoran-makan-sedikit-atau-banyak-bayar-sama-mahal. Pengunjung harus datang ke rak penuh daging. Mereka perlu memilih beberapa tampan daging pilihan untuk dibakar sendiri di mejanya. Menu lainnya terbatas: kentang, nasi, dan lalapan—kata orang Sunda. Restoran favorit keluarga Si Istri. “Bisa makan daging impor secara berlebihan dengan bayaran setimpal.” Begitulah alasan yang selalu dielu-elukan. “Ini ‘kan cuma setahun sekali. Kapan lagi kita bisa kumpul bareng keluargaku?” “Minggu depan pas lebaran.” “Kamu bukan cuma menikah sama aku, tapi juga sama keluarga aku. Kamu harus jadiin ini prioritas kamu juga, dong. Kala...

Argumentasi Aborsi: Senjata Makan Puan?

Gambar
Senjata adalah teman karib. Ia tidak mendadak akrab, hanya dimulai dari chemistry . Kadang, tanpa pengalaman yang sama. Ia perlu diasah terus-menerus. Bukan uji coba, melainkan demi semakin paham celah-celahnya. Bisa dijadikan andalan. Dan, siap dihubungi kala canda, juga kala genting. Kadang, siap dipertanyakan, tapi mencari tahu lagi dan lagi menjadi cara untuk paham. Salah satu teman karibnya adalah pengalaman perempuan. Ke mana pun perginya, teman karibnya selalu diajak. Kadang dibiarkan untuk memperkenalkan diri sendiri, kadang dikenalkan dengan lantang. Seringnya, namanya tidak disebut alih-alih privasi. Salah satu senjatanya adalah argumentasi. Hukum di Indonesia seakan-akan membolehkan aborsi. Padahal, aksesnya begitu susah. Untuk kasus perkosaan, mereka harus pakai surat dari polisi, dokter. Tidak lupa menyebutkan, polisi atau dokter akan mempertanyakan kejadiannya yang rentan seksis. Dan, mereka cuma dikasih waktu 40 hari. Padahal, butuh waktu unt...

Benalu Publik

Gambar
Apa keberhasilan Anda selama seminggu terakhir? Pertanyaan tersebut sering saya tanyakan dalam pelatihan, lokakarya, atau bentuk forum lainnya. Sering kali, kita* mengalami kesulitan menjawab itu. Kita malah cenderung lebih mudah menjawab pertanyaan, “Apa masalah yang Anda hadapi selama dua hari ke belakang?” Kita menganggap keberhasilan sebagai suatu hal yang begitu besar. Prestasi. Penuh perjuangan. Keseharian kita tidak dianggap sebagai bentuk keberhasilan-keberhasilan kecil yang mengajak kita menuju sesuatu yang lebih besar. Lagipula, apa pula yang membuat besar terasa lebih adekuat? Kita menganggap keberhasilan memberikan pengaruh terhadap banyak orang. Kesibukan setiap hari dianggap miskin pengaruh. Apakah memberikan ASI setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap anaknya? Apakah berkata dan bertindak jujur setiap hari tidak memberikan pengaruh terhadap orang-orang yang kita temui? Mengaku-aku keberhasilan merupakan bentuk dari kepongahan. Dan, kita diajarkan di ...

Dunia Pembangunan bagi Orang yang Tidak Lihai Bicara

Perempuan berambut kecokelatan ini perlu makan waktu lebih dari 20 jam untuk sampai di Jakarta. Jauh-jauh terbang dari New York, ia datang di ruang rapat berukuran kurang lebih empat kali enam meter untuk menjelaskan penelitian yang sedang diusungnya. Selepas penjelasannya, orang-orang pilihan yang ada di dalam ruang itu menimpalinya dengan masukan dan komentar. Saat itu lah, ia berbisik kepada saya, “ Speak up .” Dunia pembangunan ini mungkin memang bukan tempat nyaman bagi orang-orang yang tidak punya kelihaian berbicara. Di aksi Kamisan, orang-orang bergantian memegang mic atau toa. Di Bundaran HI, orang-orang naik ke atas mobil atau panggung. Di depan Gedung KPK atau Gedung DPR, mereka berteriak lantang. Mereka menyuarakan keadlian dengan urat di lehernya yang mengeras. Saya beberapa kali hanya memegang poster atau membagikan selebaran kepada orang yang berlalu-lalang. Lebih sering, saya hanya hadir. Ada. Suatu kali, di salah satu aksi, orang-orang setengah dipaksa...

Manusia Gunung

“To know love we have to tell the truth to ourselves and to others. Creating a false self to mask fears and insecurities has become so common that many of us forget who we are and what we feel underneath the pretense.” – Bell Hooks dalam All About Love (hlm. 48) Kenalkan, dia adalah Manusia Gunung. Bukan, hobinya bukan naik gunung. Bahkan, katanya, ia tidak mengakrabi gunung. Pertemuan pertama kami juga bukan di gunung. Hanya di lembah. Tanpa sengaja. Tanpa rencana. Dan, saya menghampirinya tanpa api. Tapi, saya kebakaran sendiri setelah membaca tulisannya. Dalam tulisan keduanya yang saya baca, dia (Jaluardi, 2017) menulis begini, “Komunisme yang telah lama diluluhlantakkan—kini jadi dongeng di belahan dunia mana pun—masih menghantui negara rupanya. Padahal [,] dulunya mereka juga yang memburu habis ideologi itu, partai dan orang-orang yang diseret-seret terlibat jadi hitungan statistik belaka.” Saya keluluhan dengan alur dan kata-kata yang mengalir. A...

Buruh Development

Bangunan itu berlantai-lantai semampai. Masih ada ruang di depan setiap pintu lantai bawah, pun dipenuhi dengan rak sepatu, jemuran pakaian, maupun perkakas rumah tangga. Orang-orang tinggal di dalam rumah-rumah yang tersusun padat.   Ketika melalui lantai paling bawah, saya beberapa kali menemui kakek atau nenek yang sedang melangut di kursi roda di terasnya. “ Morning ,” begitu saja saya menyapa. Mereka diam saja. Atau, hanya melihat saya yang terus berlalu. “Masuk dalam kategori setting film horor ala Wong Kar Wai atau mungkin Joko Anwar,” saya mbatin . Saya menuju satu bilik nomor 26. Ruang ini sebenarnya seluas dengan beberapa rumah di tempat itu yang digabungkan. Orang-orang di dalamnya pun berbeda dengan penghuni yang saya lalui ketika berjalan di dalam bangunan itu, mulai dari cara berpakaian yang jauh lebih rapi dan orang-orang yang terlihat lebih muda. Ruangan-ruangan di dalamnya pun dipenuhi dengan perangkat canggih terkini. Bilik ini merupakan tempat kerja...

Merangsang Kekhawatiran

“Ini pertunjukannya interaktif, nggak?” “Maksudnya?” Pertanyaan saya ajukan dengan alasan antara tidak mengerti, menanyakan ulang maksudnya sama dengan yang saya tangkap atau bukan, atau memastikan ia bicara dengan saya. Atau, saya mungkin tidak mendengar jelas dia bilang “penunjukan” atau “pertunjukan” dan hasrat untuk menyunting besar. “Akan ada interaksi antara pemain dan penonton, nggak? Saya duduk di paling depan, nanti bisa ditanya-tanya. Saya takut.” Perempuan itu duduk di depan saya. Kami sudah duduk manis di bagian kanan panggung jika menghadap ke ruang suara di depannya. Ia tidak sendiri, bersama pasangannya. Saya juga. Maksudnya, saya juga tidak sendiri, bersama teman-teman saya di kiri dan kanan saya. Saya memajukan badan saya untuk memastikan kursi di sebelah kirinya masih kosong. “Di sebelah ada orang?” “Nggak ada.” “Wah,” Begitu saja saya merespons. “Oh iya! Jangan-jangan, pemainnya duduk di sini.” Dahinya berkerut. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya sed...

Tersedak Janji

--> Dari kecil, kita biasanya sudah sering diajarkan untuk berjanji. “Janji, ya, besok sekolah”, “Janji, ya, langsung pulang”. Janji itu menyeramkan. Membuat kita tidak bisa berkelik tanpa tahu apa-apa yang akan terjadi setelahnya. Kita seperti merelakan diri masuk hutan rimba tanpa boleh keluar lagi sampai janji selesai. Di dalamnya, mungkin memang akan ada air terjun yang sejuk, sungai yang jernih, keindahan yang membuat kerasan. Tapi, juga mungkin ada kejar-kejaran dengan beruang, terkaman macan kumbang yang tiba-tiba. Itu bisa jadi masih jauh lebih baik. Kita bisa langsung mati. Selesai. Mati terhormat karena menepati janji. Ada yang jauh lebih menyeramkan. Di dalam hutan itu, bisa juga ada lintah yang menyerap darah diam-diam. Ratusan semut rangrang yang menggerogoti. Malam yang mendung sehingga gelap tak lelap-lelap. Kadar bahaya ada beberapa garis di bawah cerita sebelumnya. Tidak mematikan secara langsung. Hanya menyiksa perlahan-lahan. Luka-lukanya terus memeri...