Postingan

Menampilkan postingan dari 2009

sepakat

Malam menjelang pagi tadi aku dan dia sepakat bahwa waktu seperti berkejaran. Aku dan dia sudah enggan harus menanti waktu dan menanti lagi. Aku dan dia duduk berjarak, masih cukup dekat, sepuluh sentimeter mungkin. Eh, lima sentimeter mungikn lebih benar. Duduk tanpa berpandangan di bangku tanpa senderan. Kemudian, sambil menghisap rokoknya itu, ia bertanya, seperti asal. “Apa kita menikah saja?” Aku buru-buru menutupi keterkejutanku. Pandangan aku dan dia tetap ke depan, tak saling tatap. “Untuk apa?” jawabku sekenanya juga. “Biar menang dari waktu. Biar ada kepastian bisa sama kamu terus. Memang, sih, kita tidak mengejar kepastian. Aku cuma mau merasa menang saja dari waktu,” tanganmu terlihat dari ujung mataku sambil membuang abu rokok. “Mau diisi apa?” tanyaku spontan. “Diisi kayak gini aja terus. Yang beda cuma nikah ama nggak nikah,” jawabnya. Setelah itu, tak ada kata apa pun lagi. Yang terdengar hanya berisiknya kota dari ketinggian, suara korek, hembusan asap rokok, dan desah...

asap di benang tipis

Kepulan asap mengepul dan melambung tinggi di udara. Padahal, awan sedang memantulkan warna birunya yang paling cerah siang hari itu. Burung-burung tidak ada yang lewat di atasnya. Kosong saja hamparan di atas sana. Kepulan asap itu terlihat begitu jelas dari bawah. Kita menatapnya saja dari bawah. Duduk di bangku lapuk depan took yang sudah tutup bertahun-tahun. Entah kenapa. Lama-lama, pegal juga kepalaku mendongak begitu. Akhirnya, kutidurkan kepalaku di atas pahamu itu. Sudah biasa kita tak peduli dengan omongan orang yang lewat dan melihat tingkah laku kita itu. Aku pun tak bermaksud untuk bermanja-manja siang itu. Aku hanya ingin merehatkan otot-otot leherku ini. Diam kita terpaku memperhatikan kepalan asap itu sedari tadi. Setelah aku tiduran di pahamu, baru kita mulai perbincangan itu. Seperti biasa, perbincangan kita selalu berakhir dengan pertentangan makna yang kita ungkapkan. Padahal, tak jarang pada akhirnya ternyata maksud kita adalah sama, hanya penyampaiannya yang berbe...

kisah lanjutan

Malam tadi kisah kita dimainkan. Banyak orang menikmatinya dan sibuk meraba rasa. Aku senyum saja. Kita pun bahkan sebagai pemeran utama, kala itu tak pernah meraba apapun. Mungkin, aku tidak hanya memberikan senyum untuk mereka yang menerka, aku justru tersenyum mengingat rasa kita waktu itu. Kita begitu dekat sekaligus terasing. Atau, kita begitu dekat dengan keterasingan? Tidak mengenal membuat kita duduk diam tanpa gusar. Pertanyaan yang diajukan jelas pertanyaan ingin tahu, bukan pengulangan atas keseharian. Semua begitu baru dan segar. Terasa jelas maklum sebagai hasil dari semilir perkenalan mendalam. Tapi, kepastian bukan tujuan utama kita. Itu adalah permainan yang mengakrabkan saja. Nyatalah bahwa kepentingan kita begitu dekat. Cukup bertahan untuk malam itu. Sama sekali tidak berani menaruh harapan kepada esok. Setiap malam akan berakhir pada malam itu juga. Tak ada perpanjangan waktu. Sedikit atau banyak kata, lama atau sebentar waktu, semuanya harus sudah selesai. Waktu ya...

dekapdalam

Malam ini, ya, malam ini saja. Aku hanya berharap tersedia waktu bagiku tanpa diminta, tanpa keharusan, tanpa segala penangkal aura penenang. Terlalu lelah kantung mata ini menahan beratnya tetesan air mata. Raga ini pun ingin kubiarkan melayang tanpa ada yang empunya. Biarkan saja raga ini terkulai lemas di atas rumput. Otak ini pun sudah keterlaluan. Biarkan aku melakukan apa saja yang kuinginkan malam ini. Malam ini saja. Aku ingin mati untuk bisa bernapas kembali. Boleh minta diam? Kemudian, aku akan bersender sesebentar mungkin. Membagi segala peluh dan berat yang hampir tak ada artinya bagi sesiapa. Jerih rindu ini sudah menjadi piluh. Rasanya, ini sudah bukan pada taraf mau lagi. Aku butuh. Ya, dengan lantang aku katakan aku butuh. Didekap dalam diam untuk menghentikan segala perputaran hidup yang begitu tiba-tiba dan cepat. Dekap yang dalam. Diam yang pekat. Berikan napas lagi untukku. Semua belum bisa berhenti di sini. Tidak bisa.

lusuh

Kemudian, di sinilah perempuan itu meringkuk dalam bisu. Segala yang dirasainya begitu lugu. Seperti batu yang terlalu rindu pada tetesan air yang lama-lama akan membuatnya terkikis. Namun, justru itu adalah hal yang paling ditakutinya sekaligus diderita bahagia.

kelam

Ada yang salah. Ya, aku yakin ini ada yang kurang benar, walaupun seolah-olah semua begitu tepat. Rasanya, biar kuhukum diri ini sendiri. Menampar wajah sendiri untuk sadar tentang segala yang ada dan berlalu. Apa semua terlalu sibuk dengan tiap hidupnya? Hingga terlalu lupa, bahkan enggan, untuk menoleh. Atau, tidak menutup kemungkinan, aku saja yang atas dasar dan keinginanku kurang mengawasi sebelah dan seberang. Kembali saja ke kelam. Nikmat kesendirian yang memudar biar didera lagi. Tak perlulah untuk menuntut kebahagiaan dengan tolak ukur diri ini. Mereka hanya menilai dari kacamata mereka sendiri yang bila dilepas akan samar penglihatannya. Pada saatnya nanti, tak lama lagi, akan kuhabiskan kata dan diam dengan orang yang lama tak hadir. Mengharapkan segala penilaian lebih netral dan berlaku seadanya saja. Ah, ini apa di mana? Kapan ke mana? Dalam temaramnya, kucari tiap cerah melalui gelap. Sekian.

bangku lelah

Jangan tergesa-gesa. Tak ada satuan waktu tang menunggu dan mengejar. Lakukan sygala pahammu, walaupun dengan segala keraguan dan ketakutan yang menghantui optimismemu. Kau pun akan menjadi seorang manusia yang diakui. Bawa pulag segala suntuk dan lelah yang diakibatkannya. Jangan didera, mari diajak duduk dan dicerai-berai menjadi satuan yang paling lusuh. Segala itu pun pasti tersingkir. Kalah perang dengan segala paham aku dan kamu. Jika masih tersisa, berikan padaku. Biar kudekap erat dan kupangku dengan manja. Kemudian, aku dan kamu bersender dalam rangkulan bangku tua di beranda. Menjelma paham yang bisa memaklumi dengan sadar hingga tertidur pulas. Paginya, badan aku dan kamu akan sakit benar gegara ulah bangku itu. Namun, segala jiwa dan hati siap bertengkar dengan dunia untuk kemudian pulang dan mengulang kisah yang sama.

tak suka baca

Aku tak lagi suka membaca. Dulu, bisa saja kuhabiskan berjam-jam dengan membaca ribuan morfem dalam satu buku tanpa gangguan konsentrasi. Lama-lama, angkuhku mungkin muncul. Baru saja kubaca beberapa halaman, aku malah ingin menyaingi penulis yang pasti jauh lebih bagus dan berpengalaman. Kurangkai segala morfem yang muncul dalam pikiranku. Bahkan, tanpa ide awal. Tak kubuat kerangka pikiran yang menjadi patokan penulis-penulis. Bagus atau tidak hasil tulisan itu nanti saja, aku hanya ingin menumpahkan pikiran yang ada. Malam ini, aku tiba-tiba teringat seorang teman lamaku. Aku tahu betul kebiasaannya. Bangun tengah malam, membakar sebatang atau beberapa batang rokok dan menonton film. Filmnya pun selalu ia beli yang bajakan, kecuali film-film local. Menurutnya, hasil kreativitas, pemikiran, dan usaha orang lokal harus didukung. Pembelian film atau bahkan musik lokal adalah pencerobohan katanya dengan tegas. Bagusnya, ia termasuk konsisten dengan ucapannya mengenai ini. Selain menonto...

meranggas

jiwa ini meranggas ketika musim itu tiba musim yang mendampingi kelahiranku tak mengenal kemarau dan hujan musim pemodal besar idealisme berserakan di mana-mana ditinggalkan empunya yang merasa kalah merasa sia-sia dan ada di album kehidupan pun cukup identitas ibu pertiwi dipertanyakan kembali jiwa ini pun tak utuh jika masih ada pertanyaan itu pssst, satu lagi daun jiwaku lepas dan, identitas itu ikut terlekat menemani dalam album tadi

satu, dua, tiga

Semua begitu berbeda. Seolah-olah berjalan menjauhiku. Aku pun memilih untuk diam. Sekadar ingin melihat tanggapan dari yang lain. Ingin dianggap, sesungguhnya. Tetapi, mereka malah berjalan berhamburan. Atau, aku saja yang malah bersembunyi? Satu, dua, tiga. Mungkin, memang tempatku di taman belakang dengan secangkir kopi. Sayang sekali, alam bilang, dua perlu disesuaikan, sementara lebih daru dua terlalu banyak. Aku bilang, satu pun harus berpuas diri. (rindu kalian yang tak pernah mencari)

sigap

Asal kamu tahu saja, rindu ini mengganggu benar. Segala cara untuk mencari perhatianmu justru malah melelahkanmu. Aku pun lelah mengaduk-aduk cara lainnya. Rindu ini justru menjauhkan kita, seperti yang sudah-sudah. Coba kita tak pernah merindu. Kita pun mungkin sudah terbuai pada tingkat paling mesra. Dan, setelahnya, dengan sigap, bosan melanda.

sebagian saja, tak usah seutuh

Mungkin ia memang lelaki yang hampir selalu mendampingi tiap kisahku. Tapi, jangan pernah lupa, kami tidak saling memiliki. Memang benar, ada beberapa bagian dariku yang selalu tertinggal bersamanya. Tapi, tetap saja, dia bukan milikku. Bahkan, kami tak saling berkeinginan memiliki. Aku bukanlah hidupnya yang harus selalu menjadi nomor satu. Bukan pula satu-satunya seperti tuntutan mereka pada umumnya. Biarkan saja, pikirku. Aku akan menghargai dia seutuhnya dengan menjadi bagian dalam hidupnya. Ya, sebagian saja, tak usah seutuh. Kami tak perlu menjadi kita. Aku dan dia saja yang mewakili. Dua individu yang mempunyai kebebasan tanpa harus menjadi kesatuan. Mereka bilang, aku dan dia harus satu kata, satu pendapat, satu tujuann. Namun, masing-masing percaya setiap individu bebas merasa, berpikir, dan berada di antaranya. Aku dan dia tetap dua tanpa keharusan. Menjelma menjadi ras ayang ikhlas, jauh dari untung-rugi, bahkan sistem barter sekali pun. Jadi, jika kamu merindunya, panggil s...

pesan

Berkali-kali pesan yang sama diketiknya. Selanjutnya, ia diam saja menunggu balasan. Bukan pekat malam yang didambanya seharian ini. Sibuk ia mencari gemerlap lampu kota di sisa malam itu untuk menyibukkan pikirannya. Namun, pesan itu masih saja tak berbalas. Dan, ia tidak pernah lelah menantinya. Esoknya, terik menjadi saksi pertumpahan air mata. Seorang lainnya diam saja duduk di hadapannya. Tak bergerak mendekat. Tak mengusap lembut mencoba menenangkan. Jingganya matahari menjadi saksi selanjutnya. Masih saja, pesan semalam tak dibahas sama sekali. Tahunan tak menjadi jaminan. Air mata itu seperti sia-sia, tak berarti apa-apa. Padahal, ini sudah tahun kesekian. Tak terseka pula. Seorang lainnya sudah bosan berada di situasi yang tidak dimengerti sekaligus dengan mudah dipahami karena ini adalah kali kesekian. Subuh itu ia terbangun. Segala pesan ia bongkar untuk menghapus seorang tadi. Ditulis lagi pesan yang sama dan tak pernah terkirim. juni 2009

mengulang pertanyaan

Kamu tak peduli, kan? Itu saja yang diulang-ulangnya. Selalu. Aku tak ambil pusing dari tiap pertanyaan itu. Kutinggalkan saja dengan rapi. Sebelum pergi lebih jauh, ia mengulang lagi. Kamu tak peduli, kan? Dia adalah sosok paling tegas yang pernah kukenal dengan baik. Tetapi, untuk urusan ini, ia selalu rela kalah untuk tidak mendapat ketegasan. Tahukah ia? Aku merasa menang dari ketegasan yang menjadi ciri khasnya. Namun, ia sangat tegas dengan pasti bahwa perasaan bukan masalah menang kalah. Istilah kalah untuk menang pun tidak pernah ia percayai. Ketika kami duduk berdua sekian lama, ia merapikan barang-barang bawaannya. Rokok, korek, telepon yang tidak pernah berbunyi, dan satu rasa tak bernama. Kamu tidak akan pergi ke mana-mana, kan? Itu saja pertanyaan yang selalu kuulang dan tak pernah terjawab. Lalu, ia mengulang pertanyaan andalannya.

bicaralah

"Kenapa berulang kali kau tanya tentang hati ini?" kubakar rokok sebelum menjawab pertanyaan yang selalu diajukannya. "Ini serius karena aku harus tahu," itu saja jawabannya. Aku sungguh tak mengerti. Ia selalu menganggap masalah hati lebih serius daripada segala hal yang biasa kami bicarakan. Kelaparan di Afrika, kemiskinan negara sendiri, sengketa pulau, kapitalisme, dan hak perempuan menjadi kalah serius seketika. "Mau keluar dari pembicaraan dengan cara apa lagi kali ini?" tanyanya mulai sinis. Mungkin kali ini harus kujelaskan saja kepadanya. Entah mengapa, aku merasa tetap ingin mempertahankan argumenku. "Ini bukan masalah rahasia. Ini juga bukan karena aku tidak kenal hatiku sendiri," jawabku setelah menghembuskan asap rokok. "Bicaralah," katanya tak sabar. "Rasa ini urusanku dan urusan yang bersangkutan. Makanya, kupendam erat-erat," jawabku ketus. "Kamu salah satu yang bersangkutan," lanjutku tak terdengar. ...

alienasi

Hari itu adalah hari yang telah ditunggu-tunggunya sekian lama. Bertemu dengan orang-orang yang telah lama dikenal dengan baik. Bertukar kisah pun menjadi rencana utama ia dalam pertemuan itu. Segala lelah dan resah dikesampingkan demi hari itu. Duduk ia di ujung meja. Menebar senyum dan memperbarui segala berita pribadi yang tertinggal. Kemudian, pembicaraan berlanjut melebar. Ketika itu pula, ia tertegun. Diam saja. Pembicaraan di meja itu begitu asing baginya. Tidak tiba-tiba asing, perlahan-lahan saja ia tidak mengenal topik itu. Tak ada satu pun yang bisa dimengerti dengan mudah. Dunianya seolah-olah begitu berbeda. Padahal, ia kenal dengan baik semua orang di meja itu. Ia merasa begitu berbeda di tempat ia merasa seharusnya berada. Pergi pun tak akan menyelesaikan keterasingan itu. Pertemuan itu semestinya menjadi tujuan akhir, tak ada tempat lain. Orang-orang itu tak pernah menjelma akhir, hidup dalam tiap napasnya. Sayang sekali, ia pun harus merasa asing di kenyamanan yang ter...

suatu tempat

Musim kemarau ditinggalkan olehnya. Ia berjalan perlahan mencari air. Ternyata, sesampainya di kota itu, hujan tak henti turun. Bahkan, ia pun terlelah dan segera meminggir. Bertemulah ia dengan orang lainnya di pinggiran itu. Mereka bercerita tiap kisah. Segala tawa pun tak terdengar oleh suara hujan, segala harum tersapu oleh bau hujan yang khas, segala air mata pun terbias oleh rintik hujan. Dari segala cerita yang dikisahkan, mereka pun tidak selalu satu pendapat. Namun, ada satu kesimpulan yang disepakati, yaitu perubahan yang selalu ada. Dalam setiap satuan waktu, semua terjadi perubahan. Menjadi lebih tahu, melupakan apa yang diketahui, dan menjadi tidak peduli dengan apa yang diketahui. Perubahan regresif dan progresif tetap saja dinamakan perubahan. Mereka sepakat akan perubahan yang selalu dialaminya. Salah satu dari mereka pun yakin dengan perubahan alasan mengapa ia ada di tempat itu. Ia sadar dengan baik apa-apa saja yang dijadikan alasan menetap, bahkan ketiadaan alasan p...

dandelion

Gambar
Kami adalah dandelion berjejer yang mencoba bertahan dari udara dingin malam dan tiupan badai petang. Kami telah mengakar sekian lamanya. Sayang sekali, beberapa saat lalu, angin membawa pergi salah satu dari kami. Ternyata, bergenggam tangan pun masih mampu melepaskan salah satu pada saat yang bersamaan. Akan tetapi, kami percaya, setidaknya aku, bahwa masing-masing masih sanggup bertahan dan beridentitas sebagai dandelion. Malam ini, salah satu dandelion perlu diselamatkan. Kekuatan kami berkurang. Kami kebingungan dengan formasi baru ini, sementara angin terlalu kencang. Salah satu dandelion sedang tidak ada di tempat. Kerapuhan ini ditutup rapat hingga tidak membau. Air mata ini diseka singkat hingga tidak melenyapkan sisa harapan dandelion lain. Jika saja angin menerbangkan salah satu dandelion kembali, rapatkan jejeran dan tantang kembali segala yang ada tanpa getir. Kini, bercukuplah dengan segala kebimbangan. Sisa kuat akan memampukan, setidaknya itu janji alam. Maaf, kali ini ...

hadeuh

Beraktivitas saja ia seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang terhambat selepas malam itu. Aku tahu benar, ia sedang menatap lekat pecahan-pecahan dirinya. Puing-puing yang berserakan, padahal telah ia jadikan bentukan selama bertahun-tahun. Aku ada dalam pembentukan itu. Kutahu persis setiap langkah dan setiap jahitan pada lukanya yang sudah-sudah. Malam itu semua berhamburan. Tak terarah. Ia tidak tahu lagi tapakannya. Kegelapan langsung meraja lela tanpa permisi. Tetap bertahan saja ia tanpa mudah sedikit pun. Sigap saja dengan percaya yang tersisa pada dirinya. Biarkan aku ada. Cukup ada. Tanpa kata-kata dan sentuhan secuil pun. Siapa tahu masih ada sadar yang tersisa bahwa ada seseorang yang siap untuk diajak berdiam atau bertukar kata, tanpa meliputi malam itu. Malam itu lewat sudah. Lukanya adalah duka sepanjang masa. Kami tahu betul. Hanya aku yakin ia lebih kuat untuk melewatinya. Ada aku, Kak. Perjalanan malam itu belum apa-apa. Aku masih sanggup untuk melangkah puluhan kil...

unexpected things

Terjadi sudah semua kejadian kemarin malam. Aku tak terlibat di dalamnya, tetapi begitu hebatnya kami terkait. Hati ini turut kacau dan pikiranku terus memacu tanpa tahu apa dan ke mana. Pijakku samar. Tak boleh tampak, walaupun ingin sekali membenarkan segala yang kusut. Tetapi, lagi-lagi, aku berada di luar keterlibatan itu. Kak, berat pula pendengaran, penglihatan, dan perasaan ini. Sungguh! Ini semua harus kulipat baik-baik, serapi mungkin, tanpa terlirik oleh yang lain. Aku baik-baik saja. Itu saja yang perlu diketahuinya. Siapa tahu ini semua bisa dibagi dalam diam yang ditemani seseduh teh panas. Hangatnya mungkin bisa meluruhkan kebekuan jauh di dalam sini yang tak bisa tersentuh lagi. Aku hanya mau bersemayam sejenak. Mencari keamanan dan kenyamanan yang sudah dibingungkan untuk ditemukan di mana. Semua sudah berlarian. Sebelah bahu mungkin bisa mengistirahatkan sebentar untuk bersender. Ya, kali ini aku tidak akan malu untuk meletakkan kepalaku dan mendekatkan sebelah tubuhku...

efek bulan purnama

Entah ada apa, tapi suasana hati sedang tak berkehendak yang bagus. Selalu dalam situasi yang lebih mendukung untuk berbuat semaunya. Setelah beberapa bulan hilang, keadaan ini muncul lagi bulan ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk menjauhi keramaian dan tidak berkomunikasi panjang dengan orang lain. Malam itu, saya hanya butuh ditemani dengan jumlah yang minimal sekali. Pilihan masih jatuh pada sahabat lama yang mulai berangsur. Dengan sekenanya, dia justru tahu bagaimana harus menyikapi. Tidak berlebihan dan mungkin memang tidak berkekurangan seperti akhir-akhir ini. Hanya saja, kali ini, saya rela mengikuti cara dia. Masuk ke dunianya. Satu perjalanan singkat yang berputar. Satu linting yang dibagi dua. Diakhiri dua kaleng bir yang dihabiskan di rumahnya. Tak ada pembicaraan mendalam. Tak ada tawa meledak. Hanya ada. Kemudian, kami sama-sama melanjutkan dunia kami. Dia dengan pekerjaannya dan saya dengan buku saya. Setelah itu, saya pulang dan berusaha melepas segala harapan agar ta...

wilayah ini

Ini adalah wilayah yang seringkali dimasuki orang-orang. Kemudian,tak lama mereka segera meninggalkan wilayah ini. Entah untuk keluar melalui pintu lainnya atau ada pula yang segera kembali melewati pintu masuk sebelumnya. Saya dan beberapa orang lainnya kerasan untuk tinggal lebih lama di wilayah ini. Begitu banyak yang ditawarkan wilayah ini. Banyak hal bisa menjadi terlalu di sini. Terlalu senang atau terlalu sedih. Terlalu berani atau terlalu takut. Terlalu lama atau terlalu sebentar. Terlalu ramai atau terlalu sepi. Banyak yang bilang bahwa terlalu itu tidak baik. Tidak baik menurut siapa? Ada baiknya pula kita merasakan terlalu dalam hidup kita supaya kita tahu batas maksimal dan minimal kita. Kemudian, semuanya menjadi samar. Melihat dengan hati. Berpikir dengan hati. Tap, tetap saja, semua mengabur. Saya duduk saja di sini. Bukan lelah, hanya merasa tidak pantas untuk keluar dari wilayah ini. Belajar bersosialisasi dari wilayah ini. Kenal untuk merendam egois di wilayah ini. Ba...